Perjalanan Kembara

Kembara adalah kata dasar dari mengembara.

Adalah sebuah kemauan yang terkadang mengorbankan waktu kebersamaan bersama keluarga, untuk berjalan menyusuri sudut demi sudut negeri ini. Kemauan yang merelakan nyamannya kasur rumah dengan tidur di tempat-tempat yang kadang jauh dari kata layak. Kemauan untuk merelakan wajah ini menjadi kusam karena debu-debu jalanan, serta rambut yang kian kumal akibat air garam dan sinar matahari.

Tapi yakinlah kawan, akan banyak hal yang kita dapat dengan mengembara seperti ini. Kita akan lebih peka dengan keadaan sekitar.

Alam dan pengembaraan akan mangajarkan kepada kita tentang ilmu kemanusiaan tingkat tinggi. Bahkan, belum pernah ada perguruan tinggi manapun, yang bisa mengajarkan ilmu kemanusiaan seperti yang di ajarkan oleh alam dan pengembaraan.

Namun percayalah, bangku bis yang sudah reyot, kapal kayu yang mulai keropos, Juga ban motor yang mulai gundul, yang menemani kita mengembara adalah ‘bangku sekolah’ terbaik dengan mata pelajaran “perjalanan“ yang menyenangkan.

Kembara NTT

Perjalanan seorang diri ini atas dasar rasa ingin tahu saya yang besar akan negeri ini.

“Celotehan Soe Hok Gie dan semangat dari Ernesto Guevara lah yang sudah membakar jiwa saya untuk melakukan perjalanan ini.”
—Sutiknyo, Lostpacker.com

Kembara NTT adalah perjalanan gila saya, menggunakan motor vario yang sudah tidak muda lagi umurnya. Menjelajah pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor, Timor, Rote Ndao, Sabu raijua, Sumba hingga ke Timor dan kembali ke Jakarta.

Perjalanan seorang diri ini atas dasar rasa ingin tahu saya yang besar akan negeri ini. Celotehan Soe Hok Gie dan semangat dari Ernesto Guevara-lah yang sudah membakar jiwa saya untuk melakukan perjalanan ini.

Gila memang.

Bahkan, sempat mendapatkan cemooh beberapa teman dekat ketika saya mengutarakan perjalanan ini.

“Gila, itu motor buat ke minimarket depan komplek, mau kau pakai jalan ke timur”

Seperti itulah yang sering saya dapatkan dari beberapa sahabat, Tapi ketika saya bersikukuh untuk melakukan ini, mereka pun akhirnya mendukung. Keterbatasan waktu itu harus saya lawan. Keadaan motor yang seadanya juga tak membuat saya ciut untuk melakukan perjalanan ini.

Akhirnya saya bisa kembali lagi ke rumah di Tangerang dengan kondisi baik-baik saja, lengkap dengan beribu cerita perjalanan, foto dan video didalamnya.

Kembara Papua

Perjalanan saya menyusuri semua daerah di Papua.

“Bagaimana mungkin kita menjadi nasionalis kalau kita tidak mengetahui keindahan Indonesia dengan mata kepala sendiri?

Tak perlu menjadi merah, hijau atau biru untuk menjadi nasionalis.

Cukup dengan mengenal sendiri keindahan Indonesia, niscaya kalian akan otomatis menjadi nasionalis.”
Soe Hok Gie, Aktivis & Penulis.

Dikejauhan saya melihat rimbunnya hutan tanah Papua yang begitu misterius.

Perlahan, roda pesawat yang saya tumpangi dari ibukota menuju Tanah Papua mulai turun dari ketinggian, dan siap melakukan pendaratan di landasan pacu bandara Domine Eduard Osok (DEO), kota Sorong. Kaki saya juga rasanya sudah tidak sabar untuk menapaki Tanah Papua, tanah yang bagi sebagian orang masih dianggap primitif.

Namun, bagi saya, Papua adalah sekeping surga yang sengaja dijatuhkan Tuhan ke bumi ini.

Itulah sepenggal kisah awal perjalanan “Kembara Ke Timur”saya kali ini.

Perjalanan yang sudah saya idam-idamkan lama sekali. Perjalanan yang membuat saya semangat mengumpul sekeping dua keping rupiah dari upah menulis dan membuat video di beberapa tempat.

Perjalanan yang akhirnya membuat saya menangis dan tertawa dari kisah-kisah yang saya jumpai.

Perjalanan yang kembali mengingatkan saya akan Soe Hok Gie yang dengan lantangnya dia beribicara tentang Nasionalisme.

“Bagaimana mungkin kita menjadi nasionalis kalau kita tidak mengetahui keindahan Indonesia dengan mata kepala sendiri? Tak perlu menjadi merah, hijau atau biru untuk menjadi nasionalis. Cukup dengan mengenal sendiri keindahan Indonesia, niscaya kalian akan otomatis menjadi nasionalis.”

Semangat dari Gie memang sudah membakar saya untuk mengenali lebih dalam segala hal tentang negeri ini.

Sahabat saya Nuran pernah berceloteh dalam tulisannya:

“Menangislah jika selama ini kamu tidak pernah mengenal dan mencintai negeri ini secara lengkap”.

dan kurang lebih 6 bulan berkeliling Papua, ternyata belumlah cukup.

Salam Perjalanan