Cuaca masih terasa terik. Bumi Larantuka sepertinya memang punya stok matahari banyak sekali. Beberapa hari mengitari Larantuka, kulit saya langsung berubah gelap eksotik bak model-model papan atas dunia. Sementara itu, laju motor yang saya dan Valen tumpangi, terasa memikul beban berat. Memang beban kami tak ringan lagi, tak seperti dulu ketika kami masih menjadi anggota boyband kesayangan kampung kami masing-masing.
Tak jauh dari kapel Tuan Meninu, Valen, Pemuda asal Flores yang saya yakin bisa menjadi Gubernur NTT dimasa yang akan datang ini menghentikan laju motor pinjaman yang kami tumpangi. Seorang teman menyapanya. Dan sepertinya mereka memang sudah janjian untuk ketemu.
“Mas Bolang pindah ke motornya om Jun saja, biar beban motor ini berkurang” Kata-kata Valen yang seolah menjadi angin segar buat saya namun juga sindiran yang menusuk sampai ke ulu hati. Memang motor Bang Jun lebih terlihat kokoh untuk mengangkut saya dari pada motor yang kami tumpangi tadi.
Sebenarnya Valen membawa motor Trail kesayangannya, Namun sialnya, motornya mogok tanpa ngasih sinyal terlebih dahulu. Akhirnya kami berdua terjebak dengan motor yang sudah mengalami pecah Ban ketika saya dan Rizal hendak pulang ke homestay dari Kota, tepat ketika hari pertama motor tersebut dipinjamkan.
Saya bergegas naik ke boncengan abang Jun. Valen lebih leluasa melenggang dengan tas Inocensia kesayangan di gendongannya. Tadinya ketika saya membonceng, dia harus menggendong tasnya di depan, jadi posisi aerodinamis kami tidak bagus sama sekali untuk perjalanan selama satu jam kedepan menuju Pantai Kawaliwu.
Ya, kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju pantai Kawaliwu. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya akan bentuk dari pantai ini, yang konon kabarnya punya senja dramatis dan air panas yang menenangkan.
Butuh waktu sekitar 30 menit hingga satu jam perjalanan dari pusat kota Larantuka menuju ke Pantai Kawaliwu. Jalanan sudah bagus dengan pemandangan rumah-rumah penduduk di sepanjang perjalanan. Saya membatin betapa bahagianya bisa tinggal di kampung seperti ini, dengan rumah dan halaman yang luas. Bahkan disamping kanan kiri rumah terlihat banyak sekali kebun jambu mente yang pohonnya besar-besar.
Bang Jun membelokan motornya, masuk ke jalan berbatu. Baru saja kami berbelok langsung terlihat sebuah teluk yang tenang. Setelah dia memarkir motornya, saya turun dan sedikit mengernyitkan dahi. Apa istimewanya pantai ini sampai-sampai Valen mengajak saya kesini.
Memang ketika kami datang, senja belum hadir, malah sedikit terlihat awan hitam menggelayut. Sementara pantainya juga penuh dengan kerikil-kerikil hitam dan beberapa sampah plastik. Tak begitu menarik lah kesan pertama saya ke tempat itu.
Namun pendapat saya itu buyar, ketika melihat beberapa warga lokal mulai berdatangan dengan menenteng sebuah gayung. Mereka hendak mandi di sepanjang pantai tersebut sepertinya. Valen mengajari saya menggali bebatuan di pantai tersebut. Dan ajaibnya, dari celah-celah bebatuan itu keluarlah air panas yang suhunya pas untuk rendeman kaki penghilang penat. Wah menarik sekali memang, belum pernah saya melihat fenomena alam seperti itu. Bahkan jaraknya hanya belasan centimeter saja dari bibir air laut.
Sedang asik-asiknya menikmati air panas, tiba-tiba langit berubah. Senja mulai muncul. Bergegaslah saya lari keatas nyari spot paling bagus untuk memotret senja. Kamera dan tripod saya siapkan. Bahkan slider juga saya karyakan untuk merekam timelapse senja. Kebetulan saya membawa dua kamera, jadi satunya saya memang peruntukan buat timelapse, sementara kamera satunya untuk merekam video dan foto senja yang hadirnya hanya dalam hitungan detik itu saja. Maafkan kerempongan saya kala itu.
Karena sedang asik memotret yang agak jauh dari lokasi kamera timelapse saya, dan ketika itu ada rombongan abg datang kesitu, alhasil timelapse saya malah jadi kamera otomatis selfienya mereka beramai-ramai ha ha. Gagal timelapse saya? enggak dong, malah kehadiran mereka membuat ceritanya lebih menarik *menghibur diri.
Valen dan bang Jun terlihat asik saling foto dengan latar belakang senja yang memukau. Saya pun turun menghampiri mereka. Bocah-bocah abg yang tadi jadi model timelapse saya pun ikut turun. Bang Jun yang tadinya tidak ada niatan untuk mandi di laut, akhirnya menyerahkan diri dengan suasana senja yang memukau itu. Sementara saya harus mengikuti ritual di guyur air panas sama mereka disana.
Sebelum mengguyur diri dengan air panas alami tersebut, bocah-bocah abg itu sudah menyerang saya dengan air laut secara bertubi-tubi. Disanalah akhirnya kami menjadi teman. Tak ada sekat kami berasal dari mana dengan latar belakang apa. Yang ada hanya senja dan keheningan malam yang menyergap.
Bang Jun dan Valen mengguyur saya dengan air panas kawaliwu. Waktu pertama mengenai tubuh terasa begitu, namun setelah dua kali dan seterusnya, yang hadir adalah kenikmatan yang luar biasa. Bahkan kabarnya kalau siang hari bisa jadi 50-70 derajat celcius panasnya, wah bisa masak telur dong.
Hari mulai gelap, kami harus bergegas untuk meninggalkan tempat itu, mengingat sepanjang perjalanan tadi saya tak melihat adanya lampu penerangan jalan. Bang Jun memacu motornya kencang sekali, meninggalkan Valen di belakang yang sudah tak terlihat.
“Bang, sepertinya perasaan saya gak enak, tungguin Valen ya, tadi rantai motornya agak menghawatirkan sepertinya”Ucap saya ke bang Jun yang akhirnya memelankan laju motornya. Lampu motor Valen mulai terlihat, dan saya ngasih kode untuk jalan duluan.
Tak selang berapa lama, beneran firasat saya. Rantai motor itu putus dan Valen tak sadar dengan tetap saja menaikinya. Namun ketika digas tak jalan, barulah dia sadar.
Kami melanjutkan perjalanan dengan mengandalkan dorongan kaki dari bang Jun di motornya Valen. Sepertinya pemuda dari Boru ini punya otot kawat di kaki kirinya. Kami melaju sambil melihat bengkel-bengkel yang masih buka di Larantuka. Naasnya, jam 7 malam semua bengkel sudah tutup. Akhirnya kami menemukan satu bengkel yang bersiap menutup pintunya. Kami menepi, memasang muka melas untuk dibantu memasang kembali rantai putus kami. Si-bapak bengkel menatap kami dengan iba, dan akhirnya mau memasang kembali rantai kami yang putus.
Masalahnya, sambungan rantainya tidak ada. Alhasil saya dan bang Jun segera lari ke kota untuk mencari bengkel yang masih buka guna membeli rantai pengganti untuk motor tersebut. Alhamdulillah setelah mengetok pintu sebuah bengkel yang menjual sparepart, kami mendapatkan rantai itu.
Kami kembali ke bengkel pertama tadi dengan satu set rantai baru. Masalah rantai akhirnya selesai dan bisa dipasang kembali. Moral dari cerita ini adalah, jangan sepelekan “perasaan gak enak” yang datang dari dalam hati kalian ha ha.
Senja memang selalu menguarkan aura menenangkan, terlebih senja seperti di pantai Kawaliwu. Lembayung senjanya sangat mendamaikan. Semburat cahaya senja yang jatuh memantul di permukaan laut membuatnya berkilau. Sementara saya bisa merasakan nikmatinya air hangat alami yang keluar dari Gunung Ile Mandiri. Sungguh suasana damai itu makin lengkap dengan persahabatan yang terjadil diantara kami.
Benar kata orang bijak, Tuhan sepertinya sedang tersenyum menciptakan bumi Flores ini.