Su benarkah jalannya om?” Tanya saya ke Om Andre, sang kapten dalam tour guide Festival Danau Sentani 2015.”Sudah sudah, sudah benar ini”. Jawaban beliau yang membuat saya agak ragu. Tujuan kami sejatinya adalah sebuah Telaga Cinta Emfotte yang ada di Sentani. Saya pun bisik-bisik ke Barry Kusuma, teman seperjalanan saya dalam trip #PesonaSentani kali ini.
“Kok perasaanku gak enak ya bar, jalannya makin jelak, hanya jalan setapak saja dan tidak ada bekas ban dari 3 mobil yang ada di depan kita”
*Barry hanya nyengir kuda.
Kekhawatiran saya makin paraj ketika saya bertanya ke bang Edmont, pemuda Papua yang sedang menuntut ilmu jazz di new orlens itu. Kebetulan doi di daulat menjadi supir dari mobil yang saya, Barry, Dayu dan Wira tumpangi.
“Sudah baru pertama kali ini saya kesini” Jawaban Bang Edmon ketika saya bertanya perihal apakah sudah pernah ke Danau Emfotte (telaga cinta) sebelumnya.
Damn! Ternyata benar, kita bakal tersesat ini. Dan akhir dari kekhawatiran saya itu adalah ketika mobil melewati sungai kecil dan ban belakang terjerembab. Akibatnya kami harus pontang panting mencari cara untuk mengeluarkan ban dari kubangan. Bermacam rupa cara sudah kami coba. Mulai dengan mengoyang-goyang badan mobil hingga menaruh kayu-kayu kecil di depan ban. Tapi rupanya segala cara itu sia-sia. Bahkan segelondong balok besar sengaja kami angkat ramai-ramai untuk membantu ban keluar dari benaman tanah, tidak juga berhasil.
Dengan sekuat tenaga yang tersisa kami mendorong kembali mobil. Setelah berkali-kali akhirnya keluar juga ban belakang dari kubangan. Saya sudah berteriak girang karena drama terjebak dan tersesat ini akan segera kelar. Baru saja lewat dikit ternyata tuhan berkehendak lain. Gantian ban depan mobil yang mblasuk ke dalam tanah. Alhasil segala cara yang tadi dicoba kembali di praktekkan. Tapi ban depan tidak juga bergeming.
Dan akhir dari itu semua adalah ketika om Andre dapat sinyal dan menerima panggilan. Ternyata dari tadi kami sudah salah jalur. Tiga mobil yang lain juga sudah mulai mencemaskan kami karena tidak muncul-muncul.
Setelah ketahuan tersesat akhirnya kami harus atur kembali strategi. Mau tidak mau, suka tidak suka harus kembali jalan kaki menanjak ke arah jalan kita datang tadi. Terbayang sudah jalanan menanjak di tengah savana yang panas, dan kondisi sedang puasa. Tapi inilah cobaan saya di hari pertama puasa. Sambil tertatih saya menggemblok tas kamera di belakang punggung. Selangkah demi selangkah mulai berjalan kembali ke atas bukit. Untunglah tripod dan slider di bantu bawa sama Wira. Barry yang bertubuh sexy seperti saya juga terlihat ngos-ngosan menapaki jalan mendaki itu. Tapi alhamdulillah akhirnya sampai diatas bukit. Dan demi menghemat tenaga akhirnya kami memutuskan berhenti dan berteduh berharap bantuan akan datang.
Sinyal handphone tidak ada yang nyangkut ke Handphone kami. Tapi tiba-tiba hanphone berdering dan itu panggilan dari Bule, sang kumendan team dari Jakarta. Pertama dia menganggap kami bercanda perihal tersesat dan terjebak dalam kubangan. Tapi untungnya percaya dan bantuan segera datang. Alhamdulillah. Tapi bagaimana nasib bang Edmont dibawah sana yang menjaga mobil. Sementara serang-serangga aneh nan gemuk pasti sedang berpesta pora melihat mang Edmont yang bertubuh sintal itu.
Akhirnya kamipun kembali ke team. Dan buah manis dari acara tersesat ini adalah sebuah telaga yang indah di kelilingi oleh savana hijau nan menyejukkan. Setelah ketemu spot tertinggi akhirnya mobil berhenti dan kami pun berhambur keluar. Bentuk dari telaga ini sendiri terlihat menyerupi lambang cinta. Di sekelilingnya savana hijau yang sekilas seperti sebuah lapangan golf. Angin berhembus sepoi-sepoi. Matahari sudah beranjak ke paraduannya di ufuk barat. Itu tandanya kami tidak bisa berlama-lama di lokasi ini. padahal ingin sekali memandang senja di atas bukit sini. Pasti akan terasa damai dan menentramkan.
Mobil kembali melaju ke sebuah pinggiran danau Sentani. Acara selanjutnya adalah menelusuri danau menuju desa Abar. Kampung kecil ini adalah penghasil gerabah terbaik di Sentani. sesaat sebelum matahari tenggalam perahu yang kami naiki sudah berada di dermaga desa Abar. Sebuah gereja megah yang menghadap ke arah danau menyambut kami. Belasan anak tangga harus kami lewati untuk sampai ke lokasi pembuatan gerabah. Letaknya ada di samping gereja. Terlihat juga sebuah tungku pembakaran di luar workshop.
Hari sudah makin gelap, dan kami harus kembali ke kota Sentani lagi. Setelah bertanya-tanya dengan seorang tokoh adat yang juga seniman di desa ini, kami bergegas lembali ke perahu. Terlihat bapak-bapak sedang gotong royong menghias gereja dan menyiapkan tenda, karena rencanaya besok bapak mentri pariwisata akan hadir di lokasi ini, untuk melihat #PesonaSentani yang ada si desa Abar.
Gemercik air danau yang di belah oleh perahu terdengar lirih. Perairan danau juga terlihat tenang. Kami semua di kapal melihat langit yang begitu cerah. Dan tidak membutuhkan waktu lama, kami sampai pada sebuah dermaga kecil. Dari dermaga ini kami akan menggunakan angkot menuju ke rumah makan yougwa untuk berbuka puasa. Lucunya adalah kami di buru waktu, tapi angkotnya tidak bisa menambah kecepatan karena, satu angkot yang juga di pakai team di balakang kami tidak ada lampunya. Alhasil ya kami tertawa menikmati angkot yang berjalan beriringan santai ha ha. Membutuhkan waktu hampir satu jam lamanya perjalanan angkot untuk sampai di yougwa. Dan begitu sampai, makanan yang sudah terhidang dimeja langsung di sikat habis. Sup ikan kuah kuningnya lezat aekali.
Ingin rasanya segera kembali ke hotel dan beristirahat. melepas penat akibat dorong mobil dan treking menanjak tadi. Sebuah pengalaman yang luar biasa di Sentani. Danau yang tenang itu masih menyimpan banyak sekali misteri yang belum terungkap.