Flixbus yang saya tumpangi baru saja berjalan. Seluruh penumpang sudah duduk dan memasang sabuk pengaman sesuai dengan arahan yang di siarkan melalui pengeras suara yang ada di dalam bis. Suasana di dalam bis yang menghubungkan hampir semua negara yang ada di Eropa ini mulai ramai dengan obrolan-obrolan khas pejalan. Rupanya banyak juga pejalan yang hendak menuju ke Jerman dari kota Amsterdam ini.
Wira, teman seperjalanan saya sepertinya sudah bermimpi indah dalam tidur lelapnya. Sementara para penumpang lain dalam bis juga sudah mulai mengatur posisi paling enak untuk melanjutkan perjalanan dengan beristirahat. Sesuai kesepakatan, kami harus saling berjaga satu sama lain dalam perjalanan ini.
Perjalanan antara Amsterdam menuju ke kota Berlin akan ditempuh dengan bis selama 11 hingga 12 jam perjalanan. Bis tingkat ini sepertinya juga dipenuhi oleh anak-anak mahasiswa sepertinya yang bepergian dalam rombongan.
Tiga hari muterin kota Amsterdam belumlah cukup sebenarnya. Mulai dari berjalan menyusuri bangunan-bangunan yang berarsitektur klasik di kota Amsterdan hingga menikmati keindahan hamparan bunga tulip yang sedang bermekaran di Lisse. Tapi keinginan untuk tahu daerah-daerah lain di Eropa ini membuat kami harus pinter-pinter membagi waktu yang memang terbatas ini. Setelah Amsterdam perjalanan berlanjut ke kota Berlin, Praha hingga Paris mampir ke Belgia hingga balik lagi ke Amsterdam. Penerbangan pulang kami akan berangkat dari kota Amsterdam lagi. Kota-kota yang menjadi tujuan dalam perjalanan ini bisa berubah sewaktu-waktu, sesuai keinginan hati. Inilah enaknya jalan sama orang yang sama-sama seneng rubah-rubah itenerery ha ha.
Dulu waktu SD pernah ada permaian asik sebelum pulang sekolah. Yang bisa jawab atau menemukan jawabannya akan bisa pulang lebih dahulu dari yang lain. Permainanya adalah mencari tulisan kota-kota besar dalam peta dunia. Pas pak Guru bilang “ oba cari kota Amsterdam” saya yang pertama kali menemukan nama kota itu di peta dunia. Cerita kecil itu yang akhirnya mengantarkan saya untuk mengunjunginya.
Eropa buat anak desa yang di besarkan dan di sekolahkan oleh seorang janda penjual sayur mayur, dulu hanya sebuah mimpi. Tapi alhamdulillah Tuhan ngasih ijin saya untuk membuat mimpi itu jadi kenyataan. Hingga pada sebuah sambungan telepon seluler terdengar suara yang membuat saya tak henti-hentinya bersyukur sudah punya ibu pengganti semenjak Ibu Kandung saya meninggal karena kecelakaan ketika saya baru masuk bangku sekolah dasar.
“Seng ati-ati neng kono yo le, mugo-mugo tansyah pinaringan lindungane gusti Allah SWT”
(“Hati-hati disana ya le, semoga senantiasa dalam lindunganNya”)
Ucapan dari mulut simbok yang selalu saya dengar ketika saya pamit dan mohon doa restu setiap mau melakukan perjalanan. Buat saya dan kakak-kakak saya, doa dari simbok adalah sebuah munajat yang sakral dan selalu kami percayai akan di ijabah oleh gusti Allah. Dan dari doa-doa beliaulah langkah kaki ini bisa berjalan hingga sejauh ini. Bahkan kakak saya sudah lebih jauh dan lebih dahulu menginjakkan kaki di bumi Eropa. Buat kami ini sebuah kebanggaan yang patut kami persembahkan kepada simbok, wanita perkasa yang ingin anak-anaknya sukses dan bahagia. Mimpi mulia seorang janda yang membaca saja tidak bisa.
Perjalanan menuju Berlin sepertinya masih panjang. Pemandangan di luar jendela bis juga sudah mulai gelap. Sepertinya saya juga harus segera mengambil posisi nyaman untuk sejenak beristirahat. Semoga besok pagi Belin cerah.