Semesta selalu saja punya rahasia. Terkadang kita harus rela menjadi pemain sandiwara dari panggung semesta alam raya ini. Tapi patutkah kita sebagai penghuni semesta merasa marah? Tidak!!
Wajah gusar para penumpang di dalam kabin pesawat terlihat begitu jelas. Dua kali sudah, pesawat foker 50 yang di operasikan oleh maskapai Indonesia Air ini mencoba untuk mendarat. Tapi apa daya, semesta masih belum mengijinkan angan para penumpang yang ada di badan pesawat ini terkabul. Menjejakkan kaki di bumi Melayu Anambas.
Goncangan di dalam pesawat terasa begitu besar. Saya mencoba melirik ke luar jendela, ternyata hujan sedang lebat. Tanda-tanda cuaca kurang bagus sudah saya rasakan sejak pesawat baling-baling ini mengudara. Tapi alhamdulillah keputusan pilot untuk kembali ke bandara Tanjung Pinang diambil cepat. Tidak bisa saya bayangkan jikalau bapak pilot tadi mencoba beberapa kali lagi untuk landing. Pasti persediaan bahan bakar juga akan menipis dan rasanya mustahil untuk terbang kembali ke bandara semula. Disanalah letak rahasia semesta yang maha sempurna. Tak seorangpun tahu teka-teki rahasia semesta ini.
Saya tidak pernah merasa se-exited ini sejak setahun terakhir. Sejak perjalanan Kembara saya selesai, perjalanan-perjalanan yang saya lakukan ya sekedarnya saja. Ruh-ruh magis dari sebuah perjalanan rasanya entah pergi kemana. Tapi tidak untuk Anambas ini.
Saya merasa ada sesuatu yang membuat ikatan bathin saya kembali muncul dengan ruh perjalanan tersebut. Sampai-sampai saya harus merelakan beberapa hal yang mungkin itu juga tidak seharusnya saya relakan. Sepanjang malam mata tidak bisa terlelap. Hal ini yang dulu sering saya rasakan waktu kecil, ketika almarhum bapak dan ibu mengajak serta saya untuk merantau dari tanah jawa menuju bumi melayu Riau. Semalam sebelum keberangkatan saya sudah bisa merasakan aura magis dari ruh-ruh perjalanan. Aroma debu-debu jalanan yang menerobos masuk lewat jendela bis ekonomi yang akan kami naiki. Semua begitu menjajah alam sadar saya.
Dan malam tadi, saya kembali merasakan getaran-getaran itu. Belasan tahun saya tumbuh dan berkembang di bumi Melayu. Bahkan ibu juga lebih memilih bumi melayu untuk tempat peristirahatan terakhirnya. Mungkin inilah sebab musabab itu. Sebuah kerinduan yang mendalam akan bumi melayu.
Tapi siapa pernah bisa menebak rahasia semesta?. Saya hanya bisa mengintip sejenak bumi Anambas. Ketika pesawat yang saya tumpangi sedang terbang rendah, walaupun akhirnya harus terseok untuk terbang kembali. Seketika saya jadi ingat dulu yang pernah kakek bilang. “Mau pergi ke tanah suci Mekkah itu harus hatinya di panggil dulu. Sekaya dan semampu apapun mereka, kalau hatinya belum dpt panggilan dari sana, pasti akan gagal”
Saya membenarkan petuah dari kakek kesayangan saya itu. Mungkin benar, Anambas belum memanggil saya kali ini. Seberapa hebatnya perjuangan saya pun akhirnya akan sia-sia, kalau belum ada panggilan itu. Semoga di lain waktu. Amin.
Bu, aku pulang
Belasan tahun besar di tanah rantau, rasanya jiwa ini rindu dengan rentak dendang melayu.
Rindu akan keharmonisan yang tersaji. Rindu senyum dan lemah gemulainya gadis melayu.
Rindu mencecap senja bersama kopi panas dan gurindam 12.
Rindu aroma rempah didapur usangmu. Dan rindu memelukmu lebih lama ibuku, ibu pertiwi.