Kutbah jumat berkumadangan dengan lantang melalui pengeras suara di sebuah mesjid yang letaknya ada di kampung Arab Al Munawar. Seluruh masyarakat juga terlihat duduk rapi khusuk mendengarkan khutbah. Pakaian yang di kenakan rata-rata berupa gamis panjang. Warnanya hampir sembilan puluh persen putih, sebuah warna yang dipercaya oleh penganut Islam sebagai perlambang dari kesucian.
Wajah-wajah khas Arab juga mendominasi hampir seluruh isi mesjid. Sekilas saya akan bingung sedang tidak berada di Indonesia. Tapi ketika kutbah jumat di sampaikan dalam bahasa Indonesia, barulah saya yakin bahwa saya sedang berada di Nusantara. Di kampung Al-Munawar kota Palembang.
Kutbah jumat siang itu berlangsung khidmad. Kalimat demi kalimat meluncur indah tanpa menjelek-jelekan golongan manapun. Semua berupa ajakan untuk berbuat baik. Seperti kaidah-kaidah Islam dalam artian yang sebenarnya. Setelah waktu sholat jumat masuk, khotib menyudahi kutbah dan bersiap melaksanakan sholat jumat berjama’ah. Jujur ini adalah khutbah jumat terdamai yang pernah saya dengar.
Kampung Al Munawar masih terasa terik. Matahari seolah membelah diri menjadi dua hingga cahanya berlebihan menyinari kampung Al-munawar ini. Para pria lengkap dengan gamis terlihat masih memenuhi jalanan kampong, sepulang mereka menunaikan sholat Jumat dari mesjid. Aura islami terasa beitu kenthal di kampung Al-Munawar ini.
Sementara ini di dalam perkampungan, terlihat beberapa rumah yang sepertinya sudah berumur banyak sekali. Dan benar dari keterangan warga yang saya jumpai, sekitar delapan rumah yang ada di kampung ini umurnya sudah lebih dari seabad. Namun struktur bangunan dan pondasinya masih telrihat kokoh sekali. Beberapa ruangan juga di hiasi dengan marmer indah, yang konon didatangkan langsung dari Italia, hmmm.
Kampung Al-Munawar ini terletak di pinggir sungai Musi yang bersinggungan dengan sungai Ketemenggungan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari jembatan Ampera, sebuah ikon kota Palembang, yang sudah dikenal luas oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri.
Sedang asik berkeliling kampung yang fotogenic ini, salah seorang sahabat mengajak masuk ke dalam ruangan rumah salah satu warga. Abi kami memanggilnya. Pria sepuh yang sangat murah senyum. Teras dalam rumah limasnya dijadikan tempat berkumpul untuk menggelar makan siang bersama. Sebuah acara makan bersama yang bagi warga Palembang sering di sebut juga dengan munggahan.
Semua makanan di tata apik di menjadi beberapa kelompok. Hal ini sesuai dengan tradisi bahwa dalam satu kelompok makan hanya boleh ada 9 peserta. Nah ketika sedang berkumpul, kok saya sedikit bingung, karena jumlah kami baru berdelapan. Bukankah tata tertib dari munggahan ini adalah sembilan orang. Ternyata menu-menu makanan yang ada di hadapan kami itu juga di hitung sebagai salah satu anggota dari tradisi Munggahan ini, jadi sudah pas semibilan orang, mari bersantap.
Mencicip sedikit nasi minyak membuat saya nambah dan nambah lagi. Jujur saya tidak terlalu suka dengan nasi berminyak dan sejenisnya. Saya lebih suka nasi putih pulen anget yang disantap dengan sambel dan beberapa lauk. Tapi mencicip nasi minyak ini saya sedikit kaget. Rasa gurihnya itu berasal dari bumbu dan rempah yang di campur ketika sedang memasaknya. Butuh waktu yang tidak seidkit untuk memasak nasi minyak ini. Berteman gulai kambing, kari ayam dan beberapa sayuran yang di kasih bumbu kacang, sungguh membuat nafsu makan saya bergolak. Dan tidak butuh waktu lama, tiga piring nasi minyak ini sudah masuk dengan aman kedalah perut sexy saya, ha ha.
Berbicara tentang kampung Al-Munawar tentu tidak akan terlepas dari tradisi-tradisi masyarakat Arab yang menghuninya. Setelah Munggahan selesai, dilanjut lagi dengan menyaksikan kesenian tradisional Arab, yakni Gambus.
Pentas gambus ini biasanya ditarikan oleh para penari-penari pria saja. Dari balik kamera, ternyata saya malah terharu dengan ekspresi bahagia yang ada di wajah penari-penari ini. Sebuah ekspresi bahagia yang jarang kita jumpai lagi di negeri ini. Sebuah hal yang jujur dan tidak dibuat-buat. Bahkan seorang bapak-bapak tua yang sudah berjambang putih juga masih asik terlihat menari mengikuti irama gambus dan tabuhan gendang dengan lirik-lirik berbahasa arab. Biasanya lirik-lirik ini adalah petuah-petuah kebaikan yang harus di teladani oleh umat Islam.
Kampung Al-Munawar ini letaknya ada di kampung 13 Ulu. Tidak jauh dari jembatan Ampera. Dari depan Bentang Kuto Besak kita bisa menyewa perahu untuk menyebarang ke kampung yang saat ini sedang di tata oleh Dinas kebudayaan dan Pariwisata Palembang menjadi sebuah destinasi wisata religi ini. Berbagai upaya telah dilakukan, seperti sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan kampung.
Ibu Irene Camelyn Sinaga, yang saat ini menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sumatra Selatan terlihat begitu bersemangat menjelaskan masterplan dari kampung wisata religi ini nantinya akan seperti apa. Semoga kehadiran destinasi kampung wisata religi ini juga ikut mendukung dari konsep wisata sungai musi yang sudah di kenal oleh banyak wisatawan, baik luar maupun dalam negeri.
Kampung yang terletak di pesisir sungai Musi ini nanti pasti akan ramai sekali. Ketika sebuah helatan akbar digelar di kota Palembang ini. Pada tanggal 9 Maret nanti, kota Palembang akan di lewati oleh jalur Gerhana Matahari Total (GMT). Artinya dari kota Palembang ini kita bisa menyaksikan dengan jelas penampakan Gerhana Matahari Total ini seperti apa.
Nah kabarnya malah akan disaksikan beramai-ramai dari atas jembatan Ampera yang melintang diatas sungai Musi. Tentu beberapa pihak sudah berkoordinasi untuk sebuah perhelatan akbar ini. Rencananya Jembatan Ampera akan di tutup untuk beberapa jam dan diubah menjadi pusat kuliner bagi mayarakat Palembang. Menyantap Pempek dari atas Jembatan Ampera beramai-ramai tentu akan beda rasanya. Apalagi konon kabarnya, Gerhana Matahari Total ini hanya berlangsung 350 tahun sekali, duh..
Pak Latief yang saat itu bertugas menjadi komandan dari rombongan trip hore-hore kami berseru agar kami bergegas meninggalkan destinasi kampung Al-Munawar ini. Tapi kenapa saya ingin kembali lagi ke kampung ini, dan tinggal untuk beberapa hari di dalam kampung, sambil menggali lagi ada cerita apa saja yang tersisa dari kejayaan kampung Arab ini di masa lalu.
Tips:
Untuk bisa menyaksikan Gerhana Matahari Total ini, datanglah sehari atau dua hari sebelum puncak terjadinya Gernaha Matahari Total ini, agar bisa menikmati sisi-sisi kota Palembang lainnya. Kalau butuh Panduan, silahkan simak ulasan dari kakak Tjantek Swastika Nohara ini yang membahas tentang 10 tempat wisata asik di kota Palembang.
Transportasi menuju Palembang juga sudah banyak. Selain pesawat yang terbang rutin beberapa kali dari berbagai daerah, juga ada bis dan angkutan lain yang melayani jalur darat. Sementara yang ingin mencoba trek Kereta Api, bisa mencobanya dari Lampung.
Hunian hotel juga sudah lengkap di kota Palembang, jadi tidak usah khawatir untuk urusan ini. Dari hotel kelas melati hingga kelas yang bintangnya banyak, tersedia di kota Palembang.
Kuliner-kuliner palembang juga wajib kalian Coba. Seperti liputannya kaka Wira Nurmansyah ini, yang membahas tentang 10 kuliner Palembang yang wajib kalian coba.
Dan ini gak boleh di lewatkan, Poto-poto buat stock Profile Picture he he
Menyusuri Kampung Al Munawar Palembang