Matahari kembali keluar dari peraduannya ketika dingin masih memeluk hampir sebagian besar masyarakat Sumba. Hari itu perhelatan akbar akan di gelar di bumi Nusa Cendana ini. Pasola, sebuah ritual persembahan bagi leluhur mereka yang menganut Marapu atau sejenis animisme kuno yang menjadi falsafah dasar masyarakat Sumba dalam berkehidupan.
Pagi yang dingin membuat saya sedikit enggan untuk keluar dari kantung tidur. Putri dan Ratih terlihat sudah siap untuk menyaksikan perhelatan akbar itu. Kami bertiga berangkat menuju lokasi perbukitan di daerah Lamboya yang menjadi lokasi dihelatnya Pasola kali ini.
“Mas aku duluan ya, dah di tungguin papa di wanokaka, nanti ketemu di pertigaan yang mau ke lamboya ya”, begitu teriaknya dari balik helm dan sedikit bisingnya suara motor, karena memang kami sedang berkendara.
Setelah berpamitan dia langsung ngebut dan menghilang dari penglihatan saya. Tidak berselang lama, saya dan putri yang ada di boncengan tiba di pertigaan yang dimaksud Ratih. Sembari berhenti menunggu Ratih yang menjemput papanya, saya mengisi bensin di kios bensin eceran dekat pertigaan situ. Ternyata sistem pengisian bensin disini tidak literan seperti di Jawa atau daerah lain, namun bensin sudah dikemas di dalam bekas botol Aqua ukuran 1500 ml.
“Kok warna bensin yang ini beda dek”, kata saya ketika melihat ada beberapa botol dengan bensin yang berwarna agak kemerahan. “Itu sudah kena sinar matahari kak”, jawab bocah itu dengan polos.
Akhirnya saya memilih yang berwarna kuning seperti bensin pada umumnya. Ternyata satu botol 1.5 liter dihargai dengan 10 ribu rupiah. Sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan saya tertarik dengan beberapa truk yang melintas karena dipenuhi oleh padatnya manusia yang ada di bak belakang mobil angkutan barang ini.
Ternyata mereka juga sedang menuju ke Lamboya untuk menyaksikan pasola.
Ratih terlihat melambaikan tangannya memberi tanda kepada saya untuk bergegas menaiki motor dan mengikutinya. Diboncengannya terlihat seorang pria lengkap dengan pakaian adat Sumba. Dia adalah Papa Weru dari Wanokaka, seorang ksatria Sumba yang nantinya akan terjun di medan peperangan Pasola. Ratih memang sedang membuat tugas akhir kuliahnya, dan dari survey yg dilakukan, dia dikenalkan dengan sebuah keluarga yang masih menganut Marapu, yang sekarang jadi narasumber dari penelitian tugas akhirnya. “Bravo bibik Lung” (panggilan kesayangan anak-anak SAC untuknya).
Sampai di lokasi Pasola, terlihat sudah cukup ramai. Kuda-kuda terdengar meringkik solah sudah siap mengantarkan para ksatria Sumba untuk “bertempur” di lapangan hijau daerah Lamboya ini. Para ksatria Sumba juga terlihat sedang mendandani kudanya dengan beberapa hiasan di kepala kuda. Lembing sepanjang 1.5m juga siap di tangan-tangan mereka. Para penonton juga terlihat sangat antusias sekali dengan perhelatan ini. Tua muda laki perempuan semuanya membaur dalam sebuah keriuhan yang terjadi.
Pasola sendiri berasal dari kata “Sola” atau “Hola” yang mempunyai arti lembing atau kayu. Namun maknanya menjadi sedikit lain ketika di beri imbuhan “pa” menjadi “pasola” yang berarti sebuah permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu antar dua kelompok dari atas kuda yang sedang melaju kencang. Dipercaya bahwa darah yang tercecer adalah ramuan manjur untuk kesuburan tanah Sumba.
Pasola sendiri mempunya kisah sejarah awal yang dibalut dengan kisah romansa seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di kampung Waiwuang. Rabu kaba bersuamikan Umbu Dulla, salah satu dari tiga pemimpin yang ada di Waiwuang.
Pada suatu saat ketiga pemimpin ini (Umbu Dulla, Ngongo Tau Masusu,Yagi Waikaren berpamitan untuk pergi melaut. Ternyata ketiga nya pergi ke arah selatan ke daerah Sumba timur untuk mengambil padi. Sepeninggal ketiga pemimpin ini rakyat Waiwuang sangat menanti kepulangan ketiga pemimpinnya. Namun setelah beberapa waktu tidak ada kabar kepulangan mereka, masyarakat desa menganggap ketiga pemimpin mereka itu sudah tiada, hingga mereka akhirnya menggelar upacara perkabungan.
Rabu kaba bersedih ditinggal oleh Umbu Dulla. Akhirnya dia bertemu dengan Teda Gaiparno, seorang pemuda dari Kodi yang memikat hatinya. Namun keluarga mereka menentang hubungan itu, hingga akhirnya mereka kawin lari, dan memboyong Rabu Kaba ke kampung halaman Teda Gaiparno
Masyarakat Waiwuang dihebohkan dengan kemunculan ketiga pemimpin mereka yang sudah dianggap tiada. Umbu Dulla kemudian mendapat laporan bahwa Rabu Kaba sang istri sudah dilarikan oleh Teda Gaiparno keluar dari Waiwuang. Akhirnya Umbu Dulla memerintahkan seluruh rakyat Waiwuang untuk mencari Rabu Kaba. Meskipun sudah ditemukan tapi Rabu Kaba sudah dibutakan oleh cintanya kepada Teda Gaiparno dan tidak mau kembali ke Waiwuang.
Akhirnya Rabu kaba meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparno untuk menganti semua Belis yang sudah diberikan oleh Umbu Dulla, dan Teda Gaiparno sang pujaan hati menyanggupinya hingga akhirnya mereka menggelar pesta pernikahan. Sementara itu Umbu Dulla berpesan kepada rakyatnya di Waiwuang untuk mengadakan pesta Nyale dalam bentuk Pasola. Maksud digelarnya pesta ini adalah untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba.
Sebuah kisah romansa yang unik dan menarik untuk disimak.
***
Di lapangan terlihat semua ksatria sudah siap untuk bertanding. Tak selang beberapa lama permainan ketangkasan ini pun dimulai. Terlihat satu orang ksatria berkuda memancing lawan dengan melemparkan lembingnya.
Sebagai layaknya seorang ‘provokator’, dia memprovokasi pihak lawan untuk menyerang. Dan benar setelah lembing terlempar beberapa ksatria terlihat memacu kudanya ke tengah lapangan untuk membalas aksi provokasi tersebut. Begitulah seterusnya hingga terdengar pekikan panjang dan yel-yel seolah sedang terjadi peperangan. Saya dan Putri yang sedang asik mengabadikan momen itu harus ikut penonton lain lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Ternyata dari kubu lawan ada yang terkena lembing dan berdarah di dahi nya. Namun kerena provokasi penonton, justru para penontonnya yang menyerang kelompok yang mengenainya. Saya bersembunyi di balik mobil dalmas kepolisian.
Dari sana saya melihat batu-batu dan beberapa botol minuman kemasan melayang di udara ke arah kami. Memang saya sedang berada di kubu kelompok Pasola yang mengenai kubu lawan tersebut. Lucunya, sedang asik ngumpet di belakang mobil dalmas, eh si supir menjalankan mobilnya, alhasil saya harus tunggang langgang lari lagi sambil menarik tangan Putri untuk berlindung ke tempat yang netral atau aman.
Keadaan kembali normal setelah seorang wakil bupati yang notabene juga orang yang disegani disana turun tangan melerai. Dan permainan ketangkasan Pasola pun kembali di lanjutkan. Saya masih capek berlari-larian dan haus akhirnya berteduh dulu di bawah pohon. Melihat para penonton lain asik menikmati es bonbon yang warna-warni di terik panas siang itu saya jadi ngiler. Akhirnya saya membeli beberapa es yang kalau mengutip selorohan putri “warnanya kayak super pel ya mas” ha ha. Ternyata benar, rasanya juga aneh. Dari pada saya sakit perut setelah mengkonsumsi es itu akhirnya kami membuangnya.
Pertandingan kembali di gelar. Derap kaki kuda dan lengkingan suara sorak sorai penonton menjadi alunan musik alam yang menambah heroiknya para ksatria Sumba bertanding di arena Pasola. Lembing-lembing telempar kesana kemari. Terkadang malah lolos diantara kaki penonton. Sebagai penonton saya harus berhati-hati dan waspada. Karena jika lengah lembing tersebut bisa mengenai kita, dan tidak akan ada tuntutan apapun karena ini adalah acara ritual adat.
Terlihat beberapa penonton malah melindungi kepalanya dengan helm. Namun tak selang berapa lama tepat pukul 13:00 WITA pertandingan pun usai. Semua terlihat bergembira keluar dari arena Pasola. Darah sudah tercecer untuk kesuburan bumi sumba. Tidak ada korban meninggal dalam acara ini, itu artinya para leluhur mereka di ajaran marapu tidak marah sehingga tidak ada yang di hukum. Menurut kepercayaan mereka jika ada yang meninggal dalam Pasola, itu artinya mereka sedang di hukum oleh para leluhurnya karena ada adat yang dilanggar.
Mendung mulai terlihat menggelayut diantara perbukitan, tempat dimana Pasola kali ini dilaksanakan, lapangan juga mulai terlihat sepi. Ratih berpamitan untuk pulang duluan karena hendak mengantarkan papanya ke Wanokaka. Sementara saya dan Putri masih asik mengabadikan kubur batu yang terlihat di puncak bukit Pasola ini. Ternyata pemandangan disini sangat indah.
Di kejauhan terlihat riak-riak ombak yang bekerjaran untuk sampai ke bibir pantai pasir putih yang membentang panjang. Sawah-sawah juga terlihat subur dengan padi menghampar bak permadani yang indah. Sementara di sisi lain bukit-bukit indah khas Sumba juga seolah menyihir siapapun yang datang ke lokasi ini. Sumba itu benar-benar indah kawan.
Rasa penasaran saya muncul ketika melihat pantai pasir putih di kejauhan. Akhirnya saya melanjutkan perjalanan ke arah pantai tersebut. Tidak begitu jauh lokasinya. Pantai Kerewe namanya. Sebuah pantai pasir putih yang landai terlihat asik untuk melakukan aktifitas pantai seperti berenang dan bermain air. Sudah dibangun jalanan beton di sepanjang pantai. Terlihat banyak sekali pengunjung yang bermain air dipantai ini. Mungkin mereka juga sama seperti saya. Kepanasan saat menonton atraksi Pasola hingga akhirnya memilih berendam di air laut untuk mendinginkannya.
Seorang anak kecil menghampiri saya sambil menawarkan sebutir kelapa muda. Setelah saya bertanya tentang harga ternyata murah sekali. Hanya 2 ribu rupiah per butir kelapa. Kelapa mudanya enak sekali, tak terasa saya sudah menghabiskan 3 kelapa muda. Cukuplah untuk mengganti ion-ion tubuh saya yang keluar bersama keringat selama acara Pasola tadi ha ha. Putri terlihat hanya senyum-senyum melihat saya bisa menghabiskan tiga kelapa muda. Mungkin karena panas dan lapar juga kali, karena perut belum terisi sejak pagi tadi. Yang lucu ketika kami bertanya ke anak kecil penjual kelapa tersebut, “jauhkah pantai marosi dari sini?”
Mereka menjawab, “jauhhh, sekitar 2 jam” kata mereka.
Akhirnya kami mengubur rencana untuk mengunjungi pantai itu. Eh tapi ternyata setelah tanya ke Ratih hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menitan untuk menjangkaunya, ha ha ha. Mungkin 2 jam itu mereka jalan kaki dengan langkah siputnya he he. Tapi untung juga kami tidak kesana, karena malam sudah menjelang ketika kami sampai di kota Waikabubak kembali. Sungguh pengalaman yang luar biasa bisa menyaksikan sendiri salah satu budaya negeri ini yang layak untuk dilestarikan, sebuah ritual adat sebagai penghormatan masyarakat sumba pada leluhur mereka yang tersirat kisah romansa dibaliknya.
***
Cerita perjalanan melihat perhelatan Pasola Sumba ini saya tulis saat mengunjunginya medio tahun 2012. Mungkin terdapat beberapa informasi seperti harga yang sudah tidak relevan lagi saat ini.