Sumba, Mencumbu Bumi Nusa Cendana.

11

Bukit-bukit indah nan hijau seolah menyembul dari permukaan tanah beberapa saat ketika pesawat yang saya tumpangi hendak mendarat di Bandara  Umbu Mehang Kunda di kota Waingapu.

Saya begitu terkesima memandangnya dari balik jendela pesawat yang menerbangkan saya dari kota Kupang. Kesan gersang yang selama ini ada di benak saya tentang Sumba yang dulu dikenal dengan nama Nusa Cendana langsung sirna begitu bukit-bukit hijau itu terlihat indah dan adem di pandang mata.

SUmba dari udara
SUmba dari udara

Perjalanan menuju Sumba saya tempuh dengan rute udara Jakarta – Kupang – Waingapu. Sewaktu menempuh rute Jakarta – Kupang, pemadangan yang terlihat di luar jendela pesawat juga terlihat sangat indah. Pulau-pulau kecil itu seolah menyembul dari dasar lautan berbalut pasir putih yang indah di pinggir-pinggirnya. belum lagi sebuah telaga terlihat di puncak gunung, mungkin itu adalah sebuah kawah dari gunung berapi, namun saya tidak tahu gunung apa itu namanya, namun yang jelas pemandangan itu sangat indah kawan.

Satu hal yang membuat saya agak sedikit terkejut adalah suhu udara di area Bandara ini. Puanas sekali, padahal dari atas pesawat terlihat hijau meneduhkan mata jika dipandang. Namun begitu melangkahkan kaki keluar dari pintu pesawat, panas menyengat langsung menyapa kulit saya.

indahnya negeriku
indahnya negeriku

Namun semua itu seolah tidak terasa untuk sesaat ketika mata saya melihat awan berarak dan langit biru yang membentang. Berada di bandara Umbu Mehang Kunda ini  jangan pernah membayangkan sebuah bandara besar sekelas bandara yang dimiliki kota Jakarta ataupun Surabaya. Bandara ini hanyalah bandara kecil yang di darati oleh beberapa maskapai penerbangan lokal.

Ruang pengambilan bagasi juga terlihat sempit dan penuh sesak, karena dipenuhi oleh para penjemput dan penumpang. saya melihat tas Backpack biru saya di atas tumpukan di sebuah troli yang lewat di hadapan saya.  Tanpa pikir panjang langsung saya ambil aja dari tumpukan tas-tas penumpang lain sebelum di turunkan secara manual oleh petugas maskapai tersebut.

Sedikit berdesak-desakkan dengan peumpang lain saya pun segera ingin keluar dari ruangan kecil yang sumpek ini. Begitu sampai di luar ruangan, beberapa supir menawarkan jasanya mengantarkan saya keluar dari area bandara ini ke arah kota Waingapu. Tidak jauh sebenarnya jarak dari bandara ke kota Waingapu, mungkin hanya sekitar 10-15 menit berkendara. Ojek menjadi pilihan saya, selain murah mungkin juga akan lebih cepat. Namun ternyata tidak semudah yang saya bayangkan ketika harus membonceng ojek dengan gendongan sebuah tas backpack saya yang lumayan penuh isinya, sementara di pangkuan saya ada sebuah tas lagi yang di sesaki oleh laptop dan peralatan memotret saya. Hmmm bakal asoy dah duduk diatas boncengan ojek kali ini.

Sampai di hotel Elvin yang letaknya tepat di pusat kota saya langsung memesan kamar standart. Lumayan terjangkau harga kamar nya, hanya sekitar 88.000/malam, hanya ada sebuah kipas angin dipojok ruangan, dan kamar mandi tua di dalam kamar ini. Dua buah tempat tidur kayu lengkap dengan kasur busanya terlihat sebagai barang yang paling dominan di kamar standar itu. Bangunan hotel elvin ini terlihat sudah berdiri sejak dahulu kala alias kuno. Sedikit suram suasana dalam kamarnya, tapi saya hanya bermalam semalam di hotel ini hal itu tidak menjadi masalah. Namun di sisi lain ada bangunan baru yang bagus dan bersih lengkap dengan kamar berpendingin udara, namun setelah bertanya rate harga kamar tersebut sekitar 350.000 rupiah/malam saya lebih memilih yang standar saja.

Londa lima
Londa lima
Londa lima lagi surut
Londa lima lagi surut

Setelah meletakkan tentengan dan bersitirahat sejenak saya diajak ojek yang tadi mengantarkan saya dari bandara ke sebuah lokasi pantai yang tidak jauh dari kota Waingapu. Kawasan wisata Londa Lima namanya, terletak di desa Kuta.  Namun sayang nya ketika saya datang air pantai sedang surut, jadi hanya terlihat bebatuan karang yang menyembul. Kesan pertama saya tidak terlalu tertarik dengan pantai tersebut. Lain halnya ketika saya datang di pagi atau siang hari, ketika air laut menjilati bibir pantai pasir putihnya, tentu akan menjadi sebuah pantai dengan pasir putih yang luar biasa. Melihat lokasinya pantai ini juga bukan lokasi yang tepat untuk menikmati matahari terbenam. Matahari akan tenggelam di belakang perbukitan di sisi barat kota Waingapu.

Senja di pelabuhan Ferry
Senja di pelabuhan Ferry

Merasa bukan pantai yang tepat untuk menikmati sunset,  saya pun mengajak Arel, ojek yang akhirnya malah menjadi sahabat baru pertama saya di bumi Sumba ini pulang ke arah kota Waingapu. Namun ketika melewati pertigaan ke arah pelabuhan Ferry, saya mampir sebentar ke arah pelabuhan tersebut, berharap ada jadwal kapal yang melayani rute Waingapu-Flores. Begitu memasuki area pelabuhan saya melihat satu ferry yang sedang menaikan penumpang dan barang.

Ferry Waingapu-Ende, seminggu sekali
Ferry Waingapu-Ende, seminggu sekali

Dari keterangan petugas pelabuhan ferry ini melayani rute Waingapu-Ende (Flores). Namun sayangnya jadwal fery ini hanya seminggu sekali, dan biasa berangkat dari Waingapu pada hari minggu sore. Selain mendapatkan kepastian jadwal ferry, saya juga mendapatkan sebuah hiburan mata yang asik. Bias matahari terbenam ternyata sangat indah di nikmati dari pelabuhan ferry ini. Terlena dengan keindahan ini saya hampir terkurung di area pelabuhan, karena petugas sudah hendak menutup pintu gerbang yang menjadi akses satu-satunya menuju pelabuhan ini.

Seharian melakukan perjalanan membuat perut saya berontak minta di isi. menurut keterangan dari bapak-bapak recepcionist hotel saya mendapatkan informasi bahwa di dermaga lama ada warung-warung seafood yang sangat lezat sekali. Menikmati seafood di pinggir pantai sambil memandang lautan sumba ternyata sebuah kenikmatan yang luar biasa. Ikan kerapu bakar dan cumi segar bakar menjadi menu santap malam kami, plecing kangkung semakin menambah nafsu makan saya yang membara ha ha.

Puas menikmati lezatnya seafood di dermaga lama, Arel mengantarkan saya ke hotel dan tidur cepat menjadi pilihan saya. Namun begitu sampai di hotel Godaan muncul. Online, rupanya kata itulah yang menjadi godaan terberat kala itu. Saya berusaha conect to internet dengan laptop dan modem salah satu operator, tapi selalu gagal. Baguslah saya bisa tidur cepat ha ha. Betul kata teman saya ketika saya sampai di Sumba “Selamat datang di daerah miskin sinyal”. itulah kesan pertama yang saya rasakan ketika menginjakkan kaki di bumi Nusa Cendana itu.

Penganut Pesan Kakek "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu". Suka Jalan-jalan, Makan-makan, Poto-poto dan Buat Video. Cek cerita perjalanan saya di Instagram dan Youtube @lostpacker

Related Posts

Leave a Reply