Larik-larik bebatuan tersusun rapi, membentuk sebuah taman yang bercita rasa seni tinggi. berlokasi di tengah kebun kopi. Lengkaplah sudah keindahan tanah Besemah yang jadi kebanggan bumi Sriwijaya ini.
Jika selama ini kita tahu bahwa bumi Besemah punya banyak sekali potensi wisata yang terkenal, namun ternyata masih banyak lagi potensi-potensi wisata yang belum banyak di ketahui orang. Seperti taman organik milik wak Damsi ini. Sekilas waktu baru pertama kali melihatnya seperti taman-tanan kerajaan di tanah Jawa yang tersusun dari susunan bebatuan yang di bentuk dengan cita rasa tinggi oleh senimannya.
“Taman ini saya buat untuk umat dan pendidikan” tutur wak Damsi, pemilik sekaligus seniman yang menyusun taman ini sejak 1980.
Bebatuan yang di susun ini di galinya dari perut bumi. Di perkirakan bebatuan itu berasal dari letusan gunung api yang sudah berusia ribuan tahun, juga dipercayai bahwa dulu sebelum manusia ada di bumi Besemah, pernah meletuslah sebuah gunung api dari gunung Dempo, yang memuntahkan banyak bebatuan yang akhirnya di temukan oleh wak Damsi, dan di susunnya menjadi taman yang romantis.
Bebatuan itu di susun seolah merekat satu sama lainnya, padahal tidak menggunakan perekat seperti semen sedikitpun. Beliau hanya menjodohkan bebatuan itu sehingga saling menyangga satu sama lainnya. Di sela-sela batu, wak Damsi menanam beragam jenis bunga, buah dan sayuran. Dan semua itu di tanam dengan cara Organik. Makanya banyak juga yang mengenal tempat itu sebagai taman organik.
Memasuki area taman kita juga di wajibkan untuk melepas alas kaki. Tidak ada penjelasan kenapa harus melepas alas kaki, namun logika kita pasti berpendapat bahwa supaya rumput dan tanaman yang wak Damsi tanam tidak rusak oleh sendal atau sepatu yang kita gunakan. Namun ternyata tidak se-simple itu, saya merasakan energi yang luar biasa merasuk kedalam tubuh lewat tanah yang saya pijak.
Susah di jelaskan memang, tapi sedikit ilmu kejawen dari Kakek dulu membuat saya bisa merasakan energi itu, ah pasti akan sangat syahdu sekali, jika bisa bersemedi di tempat itu, me-recharge lagi energi walau sesaat. Mungkin ini yang membuat wak Damsi, meski sudah terlihat renta tapi masih kuat menggali bebatuan besar-besar dari dalam tanah untuk kemudian di susunnya kembali dipermukaan sebagai pelengkap tamannya yang indah ini.
Menuju tempat ini tidaklah sulit, saya kemarin di antar oleh teman-teman guide binaan Besh Hotel Gunung Gare, Pagaralam. Tak lebih dari tigapuluh menit rasanya perjalanan dari Besh Hotel yang di kelola oleh sahabat saya mas Eko. Setelah sampai di desa Bandu Agung, Kecamatan Muara Payang, Kabupaten Lahat, kita harus berjalan kaki sekitar 10-15 menit melewati perkebunan kopi yang rindang, sampilah kita di taman indah ini.
“Batu-batu ini saya susun berdasarkan pasangannya, mereka sudah di pasangkan oleh alam dan di pertemukan di taman ini” celoteh wak Damsi kepada kami sambil duduk di pendopo tempatnya beristirahat. Terlihat sekali sosok sepuh yang konon Alumni ISI Jogja ini bahagia menikmati hari tuanya dengan keindahan taman yang di rintisnya sejak muda itu.
Kucing hitam yang menemaninya menjaga taman itu mengeong minta jatah makan sepertinya. Dengan cekatan wak Damsi menyiapkan sepiring nasi dan beberapa kerat ikan asin untuk sang kucing kesayangan. Dengan lembut tangannya mengelus kepada kucing itu sambil terus bercerita kepada kami. Jiwa seninya yang tinggi membuat karya yang di hasilkan juga sangat bisa kita nikmati. Satu hal yang perlu di garis bawahi dari penuturan wak Damsi waktu itu adalah
“Batu aja berjodoh, masak kamu masih sendiri aja mas”
OK SiP, sekian dan terimakasih.