Seandainya Aku Jadi Engkau Mbok

11

Siang masih begitu terasa tatkala saya harus melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Dari balik kaca mobil, saya melihat dirimu yang kian lama makin mengecil. Seolah jarak akan menjadi dinding pemisah ganas di antara hatimu dan hati kami anak-anakmu. Dari sudut matamu saya lihat ada cairan bening yang siap tumpah ketika kami berpamitan untuk kembali bekerja, tapi kamu berusaha membendungnya agar anak-anakmu ini tidak khawatir. Tapi kamu tidak bisa menyembunyikannya dariku mbok, anak pungut yang sudah kau besarkan dengan sepenuh hati.

Siang ini anak-anakmu, cucu-cucumu bahkan buyut-buyutmu berpamitan untuk kembali ketempat asal kami masing-masing. Ketempat kami memburu harta dunia, ketempat kami bersibuk, yang terkadang melupakanmu. Bahkan untuk sekedar menelponmu saja terkadang kami lupa.

Lebaran telah usai, dan saat-saat terberatmu kembali hadir. Berpisah dari bocah-bocah yang dulu kau hidupi dari jerih payahmu mengais keping demi keping uang ribuan, dari hasil jualan sayur mayur di emperah toko pasar Gowangsan. Berpisah dari keriaan yang sekejap hadir ketika lebaran tiba. Berpisah dari orang-orang yang sangat kau sayangi. Berpisah dari anak-anak yang selalu ngomel agar kau tak kerja keras banting tulang lagi. Berpisah dari serpihan-serpihan kenangan yang telah membuatmu tegar dan menjaga kesetiaan.

Senyummu Semangat kami mbok

Tubuhmu yang kian renta seolah tetap semangat di depan anak-anakmu. Kulit mukamu yang kian berkerut, senantiasa kau tutupi dengan senyuman tulus kepada kami. Darimu kami belajar arti tulus yang sebenarnya.

Saya tidak tega melihatmu bekerja terlalu capek mbok. Seperti pagi itu, saya ngomel melarangmu untuk mencuci setumpuk pakaian di peceren belakang rumah. Saya gak ingin dirimu capek lantas jatuh sakit. Saya gak ingin senyum semangat kami itu meredup. Saya gak ingin melihatmu terkulai lemas tak berdaya sendirian. Walau saya memaksa untuk mengupah orang mencuci seprei dan semuanya itu, kamu tetap bersikukuh untuk mencucinya sendiri.

Doamu selalu kami harapkan mbok

Satu alasanmu saat itu adalah “Duit kok di hambur-hamburkan, lha saya masih bisa nyuci sendiri”. Mohon maaf kalau paginya datang sebuah mesin yang gak membuatmu lelah untuk mencuci, hadiah dari anak pungutmu ini. Saya hanya bisa melihat raut muka haru dari wajah rentamu. Sebuah pelukan hangat kau hadiahkan kepada anakmu ini.

Perjalanan saya ke tempat tujuan di Tangerang masih jauh mbok. Tapi tidak tau kenapa hati ini seolah tak rela membiarkanmu sendiri. Tapi selalu ada saja alasan untukmu menolak tinggal bersama kami di tanah rantau. Alasan simple yang buat kami terkadan tak masuk akal, “Nanti yang ngasih makan ayam-ayam dirumah siapa?”.

Senyum Bahagia

Sekeping rupiah-pun, buatmu sangat berharga. Karena dulu dari kepingan-kepingan koin rupiah itulah Engkau bisa membesarkan kami, bisa menyekolahkan kami, memberi kami mimpi agar punya kehidupan lebih baik. “Cukup simbok saja le yang gak bisa baca, kalian jangan sampai kayak simbok” itu yang selalu kami ingat. Kamu berhasil mbok, setidaknya anak-anak lanangmu ini sudah berhasil menyelesaikan gelar sarjananya. Sebuah gelar yang akan membuatmu bangga.

Saya tidak bisa membayangkan sepi yang kamu rasakan ketika semuanya harus kembali ke kota. Sepi yang sudah dari dulu kau rasakan. Sepi yang hadir sesuai garis dari gusti allah bahwa dirimu harus menjadi tulang punggung keluarga. Bapak sekaligus ibu buat kami anak-anakmu ini. Rasa sepi itu, saat ini pasti kamu rasakan. Tapi tak pernah kau tunjukkan kepada kami, kamu khawatir anak-anakmu ini jadi khawatir dan tidak bisa bekerja dengan maksimal.

Satu lagi yang saya teladani darimu adalah kesetiaan. Kamu tetap setia menjaga cintamu pada seorang lelaki meski dia telah berpaling dan menghianatimu. Rasa sepi kau bunuh dengan kerja keras demi mewujudkan mimpi anak-anakmu. Bahkan dirimu rela harus berbagi sedikit kasih sayang dan kehidupan buat saya, anak terlantar yang kau pungut dari jalanan. Entah apa jadinya jika saat itu kamu tak menyelamatkanku dari kejamnya kehidupan jalanan.

Terima kasih, Mbok.

***

Roda pesawat baru saja take off. Makin jauh jarak yang memisahkan kita. Tiba-tiba kembali terlihat beberapa kejadian layaknya frame per frame dari sebuah film kehidupan. Frame kehidupan yang membuat air mata saya menetes. Terlihat di kejauhan hamparan gumpalan-gumpalan awan putih bersih. Seandainya saja saya bisa melihat hati dan kasih sayangmu pada kami anak-anakmu, mungkin seputih awan yang saya lihat dari jendela pesawat itu.

Masih terbayang omelanmu tadi siang. Masih terbayang sibuknya dirimu memasukkan makanan kedalam tas-tas bawaan kami. Bahkan terkadang beras, pisang dan beberapa makanan lain selalu kamu selipkan ditas-tas kami tanpa sepengetahuan. Kamu khawatir anak-anakmu ini tak bisa makan di tanah rantau. Alhamdulillah berkat doamu kami semua bisa makan 3x sehari Mbok.

Cukup kenangan pahit susah makan menjadi masa lalu kita saja. Seperti yang selalu kamu bisikkan ke telinga saya ketika saya sakit dan kepingin makan bakso dan tidak ada uang untuk membelinya pada masa itu. “Gusti allah ora sare le, kalo kamu berusaha insyallah rejekinya akan dilimpahkan”.

Notifikasi di ponsel saya keluar ada panggilan tak terjawab 10 kali ketika kaki ini baru menginjakan kaki di rumah. Nyuwun ngapunten Mbok, begitu landing tadi saya langsung tertidur di bis perjalanan pulang. Saya janji mau ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Tapi ternyata jadwal penerbangan saya tertunda beberapa jam. Rasa khawatirmu langsung hadir. Kamu gak mau anak-anakmu tertimpa kemalangan. Benar ketika saya meneleponmu, sebuah nada khawatir muncul dari nada suaramu.

Nyuwun Pangestu dan doane panjenengan mbok. Doa yang selalu kuharapkankan dimanapun saya berada. Doa yang menjadi penyembuh ketika sakit menyerang. Seperti waktu itu, ketika anakmu ini terlukai lemas tak berdaya di pelosok bumi Papua, suaramu dari seberang telah menyembuhkan saya. “Kok aku mau mbengi ngimpi nggak enak tentang awakmu le?”. Akhirnya saya mengaku kalau lagi sakit sudah 6 hari. Akhirnya doamu meluncur tanpa rambu. Sampai seketika itu ketubuh saya. Saya tidak tahu itu mukjijat dari mana, rasa perih akibat maag akut di tubuh saya langsung berangsur sirna. Rasa lemas di sekujur tubuh juga langsung hilang. Dan alhamdulillah saya sembuh dan bersiap melanjutkan kembali perjalanan keesokan harinya. Doamu mujarab Mbok. Doa yang selalu kau panjatkan buat anak-anakmu. Bahkan terkadang dirimu lupa berdoa untuk dirimu sendiri.

Sampun dalu Mbok, saya harus merehatkan badan ini. Semoga sampeyan juga sudah tertidur lelap di kasur depan tipi seperti biasa. Bahkan kamarmu yang sudah kurapikan, jarang sekali kau pakai untuk tidur. Ketika terbangun tengah malam, saya sering mendapatimu tidur sendiri di depan TV. Kadang tak tega melihatmu seperti itu mbok. Tapi apa daya, saya tidak bisa memaksamu untuk tinggal bareng saya atau anak-anakmu yang lain.

Aku memang bukan anak yang terlahir dari rahimmu. Tapi mungkin dari sepiring sego wadang (nasi sisa kemarin yang hampir basi) yang kau hidangkan buat saya sarapan tiap hari kala itu, sudah menyatukan hati kita. Sudah menyatu dalam aliran darah yang mengalir di tubuh saya. Sesuatu yang kamu lakukan dengan hati itulah yang akhirnya menyatukan hati kita. Dan dari hati menyatu inilah yang akhirnya membuat insting kita peka. Terhubung satu sama lain. Seperti layaknya ibu kandung dan anaknya.

Mungkin saat ini dirimu sudah meringkuk di kasur depan tipi lagi. Kembali menjalani rutinitas sepi yang setia hadir menemanimu. Tapi saya janji Mbok akan segera pulang menjengukmu kembali. Agar senyuman itu kembali hadir di bibirmu. Saya tak bisa membayangkan jika menjadi dirimu, mungkin saya tak akan kuat menjalaninya dengan tegar dan ikhlas seperti dirimu saat ini.

Sehat terus nggih mbok. Dari anak pungutmu — Sutek.

***

Cerita ini saya tulis pada sebuah siang, sesaat sebelum pulang dari mudik lebaran 2018 yang lalu.

Penganut Pesan Kakek "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu". Suka Jalan-jalan, Makan-makan, Poto-poto dan Buat Video. Cek cerita perjalanan saya di Instagram dan Youtube @lostpacker

Related Posts