Menggigil di pulau Lambodong [Pulau Banyak Explore part #3]

11

Pagi kembali hadir, namun sunyi masih merapatkan dirinya di hamparan pulau asok. Laut terlihat tenang seolah sedang berdoa kepada penguasa alam semesta. Hanya ada pohon-pohon kelapa yang berjajar, termangu dan ikut merapat dalam keheningan pagi. Suara titik-titik hujan yang dari petang kemarin menghiasai alunan alam pulau ini juga seolah tidak bersuara. Semua larut dalam keheningan pagi di sebuah pulau yang damai di perairan pulau Banyak.

Citra sudah tidak ada di dalam tenda ketika mata saya mulai terbuka. Setelah melongokkan kepala keluar tenda, ternyata dia sedang asik bermain di pinggir pantai. Memang halaman tenda kami adalah pantai yang indah dan tenang.

Sambil menggeliat kan badan, saya beranjak keluar dari tenda. Angin berdesir perlahan menyambut kehadiran saya di luar tenda. Suasana terasa begitu hening pagi itu. Ombak-mbak kecil juga seolah tidak letih untuk bertandang ke bibir  pantai dan membasuh mata kaki saya. Semua terasa begitu damai.

Camping di Pulau Asok ini cakep sekali

Pulau asok adalah sebuah pulau yang tidak terlalu besar, hampir keseluruhan pulau ini adalah kebun kelapa. Pulau ini di jaga oleh seorang pria paruh baya. Bahasa padang yang digunakan beliau begitu fasih. Yang membuat saya sedikit terheran masyarakat di pulau balai dan sekitarnya terdengar fasih berbahasa Minang. Mereka pergunakan bahasa itu sebagai bahasa keseharian. Padahal lokasi pulau balai sendiri itu berada di perbatasan antara propinsi Aceh dan propinsi Sumatra Utara.

Pagi juga enggan beranjak, saya selalu suka berada di suatu tempat yang rasanya waktu berputar begitu lambat. Saya merasa puas menikmati segala keindahan yang ada  dengan lambatnya waktu berjalan. Citra mengajak saya berkeliling pulau. Loncat dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainya. Namun ada sesuatu yang membuat saya mengehentikan langkah. Rombongan umang-umang sedang berpesta kelihatannya. Mereka menggerogoti sabut kelapa bersama-sama. Terlihat mereke begitu lincah dan menggemaskan sekali.

Pulau Asok yang mempesona

Berkeliling pulau Asok kembali saya lanjutkan. Hamparan pantai pasir putih terlihat di hadapan saya. Pohon-pohon kelapa yang tinggi menjulang seolah hendak menggapai langit untuk mencapai kesempurnaan. Gradasi air laut dari biru gelap ke hijau toska juga ikut menghiasa bentang keindahan di cakrawala pulau asok ini. Puas berkeliling pulau kami kembali ke tenda untuk berkemas. Pagi ini kami akan melanjutkan perjalanan mengeliling pulau-pulau kecil yang indah di kepulauan Banyak ini.  

Suara raungan music dangdut melayu sudah terdengar, itu tandanya bang Sam sang joki perahu odong-odong kami sudah mulai mendekat. Saya harus bergegas mendekati tenda untuk bersiap. Langit sudah mulai terlihat cerah. Sebuah pertanda bagus untuk saya dan Citra berkeliling lagi.

View dari dalam tenda di pulau Asok

Tenda sudah di bongkar, semua peralatan sudah mulai di kemas, sekarang tinggal menaikkannya kedalam perahu. Bang Sam ikut membantu kami memasukkan semua perlatan ke dalam perahu. Setelah semua beres kami berpamitan kepada penjaga pulau. Beliau terlihat melambaikan tanggannya ketika perhau kami mulai menjauh.

Pulau Asok makin kelihatan kecil begitu perahu kami mulai menjauh. Sebuah kenangan sudah terukir di pulau indah itu. Lambat laun perahu mulai menjauh dari pulau Asok. Pulau Lambodong mulai terlihat jelas di depan kami. Namun ketika kami hendak merapat ke pulau ini, langit tiba-tiba menjadi gelap. Mungkin badai besar akan segera terjadi, angin mulai bertiup kencang sekali. Bang sam tidak berani menambatkan perahunya di pantai karena takut terhempas ombak. Akibatnya setelah menurunkan kami, beliau kembali ketengah laut lagi untuk menghindari hempasan ombak.

Di pulau lambodong saya sempat berbincang dengan petani kopra disana.

“hanya ini yang kami punya mas, kelapa-kelapa busuk yang tidak laku di jual dipasar”

Sebuah kalimat sederhana yang begitu menampar indera pendengaran saya. Terucap dengan segala keprasahan. Kami berbincang di teras gubuk kecil tempat mereka menyimpan kelapa. Dan di sisa-sisa siang itu saya juga mendengar curahan jiwa ketika peluh-peluh dihatinya bercucuran dengan derasnya, sedangkan kepalanya pun sedang terperas menyiasati segala cara agar bisa membeli beras dan menghidupi keluarganya.

Mendung di Pulau Lambodong

Langit masih terlihat gelap di ujung sana. Perbincangan kami terhenti karena kedua petani kopra ini harus bersiap sebelum hujan badai datang. Saya berusaha memanggil bang Sam sekuat tenaga, namun hentakan music dangdut melayu sudah memekakan telinganya sehingga beliau tidak mendengar teriakan saya, tapi alhamdulillah lambaian tangan saya bisa mengirimkan kode kepadanya bahwa kami minta di jemput.

Baru saja perahu menjauh dari pantai pulau Lambodong, namun tiba-tiba bang Sam memberikan komando bahwa perahu tidak bisa melanjutkan pelayaran karena cuaca buruk. Hujan begitu lebat disertai angin. Alhasil kami harus sembunyi di balik pulau Lambodong untuk menghindari terpaan angin kencang. Ternyata di tempat perahu bang Sam sembunyi adalah spot yang asik buat berenang. Kembali saya dan citra berenang di tengah hujan yang mengguyur. Pesona bawah air pulau ini juga tidak terlalu jelek. Namun jika di bandingkan dengan pesona pantai-pantainya, tentu pantai-pantai di pulau banyak ini lebih menakjubkan.

Explore Pulau Lambodong

Hujan mulai reda, dan angin juga sudah bertiup tidak terlalu kencang. Tubuh saya juga sudah mulai menggigil menahan dinginnya cuaca. Dengan lambaian tangan bang Sam menghampiri kami. Setelah semuanya naik keatas kapal perjalanan pun di lanjutkan. Niatan semua kami akan mampir ke pulau Pabisi namun karena cuaca tidak mendukung akhirnya perjalanan dilanjutkan langsung ke pulau Palambak Besar.  Di pulau inilah kami akan bermalam di sebuah bungalow yang dikelola oleh bang Erwin. Lyla bungalow namanya. Diatas perahu saya dan citra masih menahan dingin di tengah rintik hujan dan desauan angin laut. Sementara bang Sam masih setia memutarkan lagi-lagu dangdut melayunya. Tapi lumayan lah kehadiran lagu itu paling tidak bisa menghangatkan suasana siang yang dingin itu.

Menjelang pulau Palambak cuaca sudah kembali cerah. Matahari mulai memancarkan sinarnya. Tapi ternyata kami salah perkiraan. Lyla bungalow yang tadinya hendak kami inapi ternyata kosong. Tidak ada seorangpun terlihat disana. Bang Sam sang joki perahu berkelakar di tengah kebingungan kami.

 “jarang sekali ada orang menginap disini, makanya kalau tidak ada turis si erwin pulang ke pulau Balai”

DAMN artinya kami kembali harus menginap di pulau kosong. Tidak masalah sebenarnya karena memang kami sudah ada persiapan tenda dan perbekalan makanan. Alhasil kami harus kembali menginap di pulau kosong.

Bang Sam berpamitan, perahu odong-odong itu sudah mulai menjauh. Dentuman lagu-lagu dangdut melayu itu juga seolah hampir menghilang di gantikan dengan semilir angin laut yang berhembus. Pulau ini terlihat begitu sempurna sekali. Hamparan pantai memanjang dengan laut dangkalnya membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Deretan bungalow-bungalow sederhana juga semakin melengkapi keindahan pulau ini. Seperti kebanyakan pulau-pulau di perairan Singkil ini, pulau ini di tumbuhi oleh ratusan bahkan ribuan pohon kelapa.

Homestay di Pulau Palambak

Barang-barang sudah berada di teras salah satu bungalow. Menu makan siang sebungkus nasi dan beberapa kerat ikan asin balado yang dibawa bang Sam dari pulau balai menjadi menu makan siang kami. Citra terlihat begitu lahap, mungkin dia sudah lapar sekali setelah berenang-renang dalam hujan di pulau Lambodong. Tidak selang berapa lama dari acara makan dia sudah tepar dalam tidur siangnya diatas pantai pulau Palambak ini. Saya mulai membentangkan hamock kesayangan untuk menikmati tidur siang dalam buaian angin sepoi-sepoi di bawah pohon kelapa.

Sore menjelang, semburat merah kekuningan menghiasi langit di hadapan saya. Citra sudah sibuk dengan angle angle extreme nya untuk mengabadikan pesona matahari tenggelam di pulau ini. Laut terlihat begitu tenang sekali. Ombak-ombak kecil sesekali terlihat menjilati bibir pantai. Semua terlihat begitu tentram dan damai. Kamera saya hanya sesekali mengabadikan moment indah itu.

Senja di Pulau Palambak

Malam hadir ketika semburat merah dilangit mulai menghitam. Namun begitu langit terlihat gelat, rupanya bintang mulai bertebaran. Jujur di pulau inilah saya bisa melihat bintang bersinar begitu terang dan begitu banyak. Butiran-butiran debu angkasa seperti nebula juga terlihat begitu jelas. Namun rasa penat yang begitu menjalar hingga untuk mengambil kamera dan mengabadikan bintang-bintang itu rasanya malas sekali.

Saya hanya rebahan di dalam hamock sambil menatap langit yang begitu mempesona hingga akhirnya terlelap, namun begitu terbangun angin berhembus mulai kencang dan saya harus pindah ke dalam tenda yang kami bentangkan di teras salah satu bungalow untuk menghindari serangan nyamuk. Nyamuk di pulai ini sungguh dahsyat,jumlahnya mungkin ribuan. Saya ingat salah satu sahabat saya seorang petualang ACI pulang dari pulau ini harus mengidap Malaria, maka tenda pun kami bentangkan untuk mengahalau nyamuk-nyamun nakal itu. Didalam tenda akhirnya kami bisa tidar dengan nyenyak menggapai mimpi-mimpi kami yang belum teraih. Semoga.

 

Penganut Pesan Kakek "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu". Suka Jalan-jalan, Makan-makan, Poto-poto dan Buat Video. Cek cerita perjalanan saya di Instagram dan Youtube @lostpacker

Related Posts