Langit sudah terlihat memerah, tanda bahwa penerbangan kami sudah melewati batas lima jam lebih jam terbang. Dibawah sana bumi Papua terlihat begitu damai dengan sungai-sungainya yang mengular. Pak pilot juga sudah bisik-bisik kepada para cabin crew lewat pengeras suara, bahwa sebentar lagi pesawat Garuda yang kami tumpangi, akan segera mendarat di bandar udara Sentani, di Jayapura.
Tapi Jayapura bukanlah akhir dari perjalanan kami. Hanya transit sekitar dua jam, kami akan melanjutkan perjalanan degan pesawat yang lebih kecil. Karena akhir dari tujuan perjalanan ini adalah sebuah lembah yang saat ini tengah menjadi buah bibir dikalangan pejalan karena keelokan alam dan budayanya.
Lembah Baliem, itu adalah destinasi yang sedang kami tuju. Rombongan berjumlah lima belas orang terlihat dengan muka-muka letih tapi penuh harap agar segera bisa menyapa kota Wamena. Kota yang menjadi ibukota dari kabupaten Jayawijaya ini, tempat dimana Bandar udara yang menjadi pintu masuk lembah Baliem berada.
Lembah Baliem adalah sebuah lembah yang terkenal sangat subur. Sementara itu suku Dani yang mendiami lembah ini masih memegang teguh budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Banyak sekali kearifan lokal yang patut kita pelajari dari suku Dani. Suku yang hidup di perkampungan-perkampungan kecil yang tersebar di lembah dan pegunungan Baliem.
***
Puncak gunung cycloop menyambut saya dengan tetap ditutupi oleh awan. Seolah tetap menyimpan sebuah misteri yang tidak boleh seorang-pun mengungkapnya. Seperti kisah asal-usul danau Sentani yang sampai saat ini juga masih sangat misteri, karena cerita yang beredar di masyarakat juga masih simpang siur. Banyak sekali versi yang menceritakan asal-usul dari danau yang bentuk perbukitannya sangat indah ini. Saya selalu minta duduk di dekat jendela pesawat ketika hendak terbang ke Sentani. Alasannya adalah saya bisa dengan mudah melihat keelokkan dari danau yang luas ini.
Teh Iis dan Bibi, dua sahabat baru saya dalam perjalanan ini pergi berpamitan hendak menilik bukit Mc.Arthur. Tidak terlalu jauh jaraknya, mungkin hanya sekitar lima belas sampai dua puluh menit perjalanan. Sementara Theo dan Uthie sang komandan dari perjalanan ini, selalu mengingatkan bahwa tepat jam sembilan semua harus sudah berkumpul di warung kopi tempat kami sarapan tadi.
Saya hanya berjalan-jalan sejenak di sekitaran Bandara Sentani saja. Menemani dua sesepuh blogger wanita, simbok Venus dan mbak Terry untuk melihat-lihat pasar kaget yang menjual batu-batu mulia di emperan pertokoan. Lokasinya tidak jauh dari bandara. Cukup jalan kaki lima menit saja. Beragam jenis bebatuan dijual di pasar kaget ini. Tapi yang paling banyak dan khas adalah bebatuan dari pegunungan Cycloop. Batuan ini berwarna hijau lumut dengan texture yang menarik.
“kita nanti pas balik mampir sini lagi kan lang?”
Simbok bertanya ke saya, karena mungkin akan memberatkan jika harus belanja bebatuan saat itu, karena perjalanan ke Wamena masih jauh. Dan menurut rencana, memang jadwal penerbangan pulang akan singgah lagi di Sentani sekitar dua jam lebih, cukuplah untuk keluar bandara sebentar berbelanja batu.
Tepat pukul sembilan kami semua sudah berkumpul kembali, dan bersiap masuk kembali ke ruang tunggu Bandar udara Sentani. Pesawat yang kami naiki berganti ke pesawat yang lebih kecil. Karena memang bandara dan kondisi alam di Wamena mengharuskan pesawat berbadan kecil dan baling-balingkah yang paling cocok untuk melayani rute penerbangan kesana.
Kembali saya dapat tempat duduk di samping jendela pesawat. Dan benar setelah hampir tiga puluh menit terbang dari bandara Sentani, bukit-bukit elok sudah mulai terlihat. Sementara nan jauh di bawah sana, terlihat lembah yang subur lengkap dengan sungai-sungainya yang mengular.
Ya, itulah lembah Baliem yang ada di kota Wamena. Sebuah lembah tempat peradaban suku Dani berasal. Sebuah suku yang kaum lelakinya lebih suka berperang, sementara sang perempuan bertugas menjalankan roda kehidupan bagi keluarga. Perang adalah harga diri bagi suku Dani. Dan sebentar lagi kaki saya akan menapak ke salah satu destinasi yang selama ini masih menjadi impian saya.
Pesawat berjenis ATR ini tidak terlalu mulus mendaratnya. Seperti tersentak saya bertumpu pada safety belt yang saya kenakan. Dan sesaat sebelum mendarat tadi, saya melihat gunung-gunung batu yang tinggi menjulang tertutup awan tebal. Tidak bisa di bayangkan, sedikit saja pak pilot tidak konsentrasi, pasti pesawat ini akan menyenggol punggung-punggung bukit itu.
Dan siang itu, ketika kaki mulai menapak pada bumi lembah Baliem, rasa haru kembali menyeruak. Sebuah anugerah bisa ikut dalam perjalanan #MahakaryaIndonesia yang mengangkat tema #JiwaIndonesia di Wamena ini. Sebuah perjalanan yang selalu yang konsisten mengangkat akar-akar budaya yang ada di negeri ini. Agar semua bisa belajar dari budaya-budaya adiluhung yang dimiliki oleh ibu pertiwi ini.
Saya hanya bisa terdiam sejenak. Berharap agar kaki ini senantiasa akan terus melangkah, melangkah yang lebih jauh lagi. Kaki yang akan menuntun saya ke tempat-tempat yang belum pernah saya datangi. Kaki yang akan menuntun raga ini bertemu dengan jiwa-jiwa Indonesia yang ada di ujung negeri sana. Karena negeri ini maha luas. “Negeri yang tidak akan selesai kita jelajahi walaupun kita sudah enam kali reinkarnasi” setidaknya begitu menurut sahabat saya mas Danny Tumbelaka.
Selamat datang di Wamena!