Cerita mudik tak selalu perihal silaturahmi, ketupat dan opor ayam saja. Banyak sekali yang bisa kita lakukan pada saat mudik. Nah kalau saya yang traveler pemula ini tak mau melewatkan dong momen jalan-jalan saat mudik. Tapi kemana ya enaknya?
Pati, kota saya di lahirkan adanya di jalur pantai utara pulau Jawa. Berhawa sedikit panas karena berada di pesisir pantai. Kondisi kotanya ya begitu-begitu saja, tidak banyak perubahan yang berarti sejak saya balita dulu. Tapi karena itulah saya selalu rindu memeluk kenangan-kenangan masa lalu di Kota ini.
Mudik lebaran kali ini tak lengkap kalau tidak ada agenda jalan-jalannya. Alhasil bersama rombongan keluarga kecil kami jalan-jalan dong ke pantai. Momen-momen kebersamaan seperti ini sangat langka mengingat kesibukan kami masing-masing.
Mengingat para ponakan kecilku pada suka pantai (keracunan pak lik-nya) maka saya usulkan jalan-jalan kali ini ke Raja Ampat. Tapi ternyata di tolak mentah-mantah oleh yang lain, mengingat letak kota Pati dan Raja Ampat lumayan jauh. Alhasil pilihan jatuh ke pantai Bandengan di Jepara.
Letak pantai Bandengan sendiri tidak terlalu jauh dari rumah. butuh waktu setidaknya satu jam setengah perjalanan. Ada dua jalur yang bisa di tempuh. Lewat Kudus atau lewat jalur Tayu. Dan karena semua keracunan ide gila saya akhirnya kami berangkat lewat Tayu dan baliknya lewat jalur Kudus.
Menuju Bandengan
Sepanjang perjalanan melewati banyak sekali kebun-kebun. Dari kebun tebu, singkong, karet, sengon hingga kebun Jati. Padahal saya berharap ada kebun sakura atau kebun “bunga desa” disana, upss!!
Setelah jalan menaiki bukit dan menuruni lembah, sampailah pada titik koordinat google maps yang kami pakai sebagai panduan.
“Berapa orang pak” tanya embak-embak cakep yang jaga karcis di gerbang.
“Tujuh orang mbak” jawab saya sambil melempar senyum paling manis andalan.
Rupanya si embak terpesona dan tiket masuk kami bertujuh beserta mobil hanya di banderol dua puluh ribu saja. Saya bahagia bukan kepalang mendengar nominal yang keluar dari embak penjaga karcisnya. Tapi begitu memerikaa karcis, kegembiraan saya langsung lenyap seketika karena tiket masuk perorangnya adalah dua ribu rupiah, sementara mobil sebesar enam ribu rupiah, artinya total jendral dua puluh ribu rupiah untuk bertujuh. Sangat kontras dengan curhatan teman-teman bule saya yang harus membayar karcis masuk sebesar 150ribu untuk masuk ke Kelimutu.
Acara bersedihnya gak lama-lama dong karena begitu masuk pantai, langsung disambut dengan warung makan bandeng yang lezat. Apa karena bandeng bakar ini ya nama pantai ini berasal. Ternyata salah besar kawan anggapan saya itu. Dulu tersebutlah sebuah kisah asal muasal Karimunjawa. Raden Amir Hasan,anak dari Sunan Muria mendapat mandat untuk menyebarkan ajaran islam ke Karimunjawa.
Karena dulu belum ada ferry yang melayari Jepara-Karimun, maka sang Raden mengembara dulu hingga pada suatu saat sampailah di lokasi pantai ini. Karena di pantai ini dulu konon katanya banyak bandeng yang dilihat oleh sang raden, maka dinamailah desa tempat pantai ini dengan nama desa Bandengan. Sesimpel itu ternyata sejarahnya. Untung saya bukan raden jaman dulu, kalo pas kepantai ini lihat perawan pipis trus nama pantainya jadi “pantai perawan pipis” kan gak asik kalau di tulis blogger-blogger keceh di kemudian hari. Sungguh besar memang rahasia gusti Allah pada umatnya.
Udah ah gak usah di perpanjang nama pantai perawan pipisnya. Pantai pasir putih membentang, ditambah ombaknya sepoi-sepoi saja. eh maksudnya ombaknya kecil-kecil saja. Jadi aman kalau di pakai main air bareng ponakan krucil-krucilku.Tapi ternyata mereka lebih gak sabar melihat panorana di depan mata itu. Tanpa di komando langsung pada nyebur ke air laut yang bening itu.
Sebagai paklik yang bertanggung jawab, saya harus menjaga mereka semua dong. Dengan alasan itu saya juga ikut nyebur.Tahu sendirilah bagaimana besar cinta saya akan pantai dan laut. Sampai-sampai kenal mantan juga dipingir pantai indah Belitung, Tapi di pinggir pantai juga saya harus memutuskan hubungan dengan mantan. Tahu kan kenapa saya suka pantai, karena belum bisa move on dari Mantan, upss!!!
Menyeberang ke Pulau Panjang nan Aduhai
Tapi ternyata kegilaan kami tidak sampai di pantai Bandengan saja. Pulau kecil yang letaknya tidak jauh dari pantai ini juga kami jelajahi. Berkat rayuan setan dari seorang pemuda lokal yang berwajah mirip artis ibukota, berangkatlah kami menuju pulau Panjang. Hanya sekitar dua puluh lima menit perjalanan menggunakan perahu kayu, kami sudah sampai di dermaga pulau Panjang. Dan ternyata gak hanya pulaunya yang panjang, dermaganya juga panjang. Bagaimana kisahnya ya jika harus menunggu diujung dermaga seperti syair-syair lagu cinta itu.
Pulau ini indah. Tapi kata indah saja tidak cukup untuk mengekspresikan panorama alam yang tersaji didepan mata itu. Airnya bening dan pasir pantainya putih. Pas lah kalau dipakai jalan-jalan sambil bergandengan tangan (bukan sama mas nahkoda kapal ya).
Ketiga ponakan saya, seperti menemukan taman bermain baru. Melihat pasir putih nan lembut, mereka langsung berhamburan bermain pasir sepuasnya. Mulai dari membangun istana-istana hingga membuat lubang yang gak jelas bentuknya. Padahal panas terasa begitu menyengat sekali. Tapi panas memang terasa begitu menyengat. Terpaksa kami tidak berlama-lama berada di pulau Panjang itu. Mungkin lain kali saat ada yang diajak gandengan akan lebih lama di pulau ini.
Kembali ke Bandengan adalah keputusan yang bijak. Dengan kedipan manja, sang nahkoda perahu mengarahkan arah laju perahu menuju ke pantai Bandengan lagi. Tapi lagi-lagi ternyata kedipan manja saya tidak berlaku juga disini. Kami tetap harus membayar sewa perahu sebesar tiga ratus ribu. Kalau mau rela menunggu ngantri mungkin bisa ikut rombongan lain. Tapi kami ingin menyewa, jadi harus merogoh kocek lebih. Kalau tarif reguler hanya sekitar dua puluh ribu saja perorang.
Sampai di Bandengan ternyata acara bermain tidak selesai. Tidak mau kalah dengan sinetron tersanjung yang bersambung terus, acara main air kali ini juga bersambung. Hingga akhirnya terkapar dalam kelelahan. Jangan khawatir soal bilas. Karena lokasi pantai Bandengan ini sudah sangat lengkap sarana pendukungnya. Eh tapi belum lengkap ding, saya gak lihat ada tempat pijet idola saya disana.
Fasilitas penginapan, restoran, tempat bilas, mushola, tempat bermain bocah, Banana boat, Jetski, ato sekedar leyeh-leyeh cakep sambil terapung naik Ban yang disewakan juga seru. Tapi sepertinya bobok-bobok cakep di bawan pohon sambil baca-baca (wall FB-nya mantan) juga seru sepertinya.
Pulang mampir nasi Gandul Warung Pati
Ada perjumpaan pasti ada perpisahan. Jangan tangisi sebuah perpisahan, tapi sesali lah kenapa harus ada perjumpaan. Sore itu saya harus berpisah dengan pantai perawan pipis Bandengan untuk kembali ke Pati lagi. Nah kali ini jalur yang akan kami tempuh lewat kota Jepara terus lanjut menuju Kudus dan berakhir di Pati.
Tapi jangan sampai menyesal sudah lewat Jepara tapi tidak melongok hasil kerajinan ukirannya. Nah karena keluarga kami itu menjunjung tinggi seni ukir maka mampirlah kami ke sebuah sentra kerajinan ukir. Setelah kesana kemari bertanya dapatlah kami sebuah cinderamata ukiran nan lucu. Sebuah dakon, mainan lama yang ternyata masih seru di mainin saat ini.
Setelah melewati Jepara dan kudus akhirnya kami sampai juga di Pati Kembali. Tapi kurang lengkap rasanya kalau tidak mampir dulu ke Warung Pati. Warung kuliner khas Pati yang ada di lokasi pabrik kacang dwi kelinci. Dari menu nasi Gandul, Soto Kemiri, Mangut panggang, es kopyor di sajikan apik dalam sebuah bangunan joglo yang menawan. Dan memang sih rasa gandul disini agak sedikit beda dengan warung-warung legendaris di kota Pati.
Tapi jangan salah, semua masakan di warung ini di olah tanpa msg. Tuh kan mereka peduli agar para tamunya tidak cepat pikun. Tapi kalau jujur sih saya lebih terpesona dengan rasa nasi gandul gajahmati dan soto kemiri pak Kribo yang melegenda itu.
Ini sebagian cerita mudikku, mana cerita mudik kalian?