Fajar baru saja menyingsing ketika sepasang suami istri tergopoh-gopoh melaporkan periahal sebuah kehilangan. Sebuah tas yang berisikan dompet dan semua barang berharga mereka sudah berpindah tangan, sejatinya mereka sedang mencari anggota keluarganya yang sudah lama menghilang, setelah dua hari muter-muter kota Semarang mereka belum juga menemukan sosok anggota keluarga yang menghilang tersebut.
Kelelahan mendera mereka, namun rupiah di dompet sudah menipis, tidur di sebuah mushola di salah satu sudut terminal bus antar kota antar propinsi kota semarang pun jadi pilihan bagi mereka, namun begitu hendak menunaikan ibadah subuh mereka terhenyak ketika sebuah tas yang di peluk oleh sang ibu paruh baya itu lenyap, mereka panik, dan atas saran dari beberapa orang yang saat itu berada di terminal akhirnya mereka melaporkan kejadian kehilangan tersebut ke sebuah pos polisi.
Saya sedang menunggu seorang sahabat dari surabaya pagi buta itu, untuk mengusir bosan saya ngobrol banyak hal dengan seorang bapak polisi yang sedang berjaga di pos tersebut, mau tidak mau saya mendengarkan segala yang di keluhkan ibu tersebut sambil berlinangan airmata, begitu keluar dari ruangan pos polisi sepasang suami istri ini terlihat begitu kebingungan sekali, bagaimana mereka harus kembali ke kampung halamannya di daerah Porong Sidoharjo sana, sang ibu terisak ketika saya menghampiri mereka sambil mengajak mereka mengobrol, beliau kembali terisak ketika saya menyodorkan sejumlah rupiah, tidak banyak jumlahnya, namun saya rasa cukup untuk mereka pulang ke Sidoharjo walaupun harus menggunakan moda transportasi kelas ekonomi, sang ibu begitu terharu lantas memeluk dan menciumi saya, rasanya bahagia sekali mendapatkan pelukan dan ciuman walaupun bukan dari ibu saya sendiri, akhirnya saya membantu mereka untuk mencari bis ekonomi yang ke arah surabaya.
Tak selang berapa lama putri sahabat yang saya tunggu tiba di terminal Terboyo, pelajaran berharga kembali saya dapatkan pagi itu, jika saya boleh mengutip motto dari sahabat saya Nuran, “Tuhan selalu melindungi para pejalan, dan percaya bahwa orang baik itu ada dimana-mana” mungkin dalam fragmen kehidupan pagi buta itu saya berperan sebagai tokoh orang baik bagi mereka, namun di suatu saat nanti dalam pengembaraan-pengembaraan saya selanjutnya saya pasti akan membutuhkan orang-orang baik yang lain.
“Langsung ke Sam Poo Kong aja ya mas” ucapan yang keluar dari mulut sahabat yang baru pertama kali bertatap muka, dan taksi pun melaju melewati bundaran Tugu muda, melaju terus ke arah sebuah klenteng sam poo kong di daerah Simongan. Klenteng terlihat meriah sekali pagi itu, tebaran senyum terlihat di mana-mana, sebuah patung laksamana Cheng Ho yang baru di resmikan juga terlihat begitu kokoh menghadap ke arah matahari terbit, warna merah mendominasi klenteng tersebut, kontras sekali dengan warna langit biru diatasnya, seolah langit juga ikut bersuka cita dengan perayaan pagi itu.
Festival Bee-Kun memang sedang di helat di area klenteng, menurut informasi festival ini adalah yang pertama di helat di dunia, makanya saya tertarik sekali menghadiri helatan akbar tersebut. Sedang asik motret berkeliling area klenteng, terlihat keramaian di area pintu masuk, sedikit berlari saya mendekati keramaian itu, ternyata rombongan yang di tunggu-tunggu dari klenteng Tay Kak Sie sudah mulai memasuki area klenteng. Terlihat beberapa barongsai dan naga Liong beraksi memukau para pengunjung, yang menarik perhatian saya adalah sebuah Liong naga dengan sisik doreng khas militer, ternyata betul personil yang menarikan naga itu adalah para personil militer kita, sebuah pendekatan ke masyarakat yang patut diacungi jempol bagi aksi ini, militer tidak selamanya harus berada di medan tempur, namun supaya mereka membaur ke lingkungan masyarakat aksi-aksi kecil seperti ini patut di dukung.
Bee-Kun sejatinya adalah pasukan penuggang kuda pengiring laksamana Cheng Ho/ Zheng He, bagi masyarakat Tionghoa yang ada di Semarang dan sekitarnya perhelatan ini merupakan sebuah momen spesial, pengingat akan peristiwa kedatangan laksamana Cheng Ho yang gagah berani pertama kali di bumi nusantara. Serangkaian ritual sesuai dengan tradisi leluhur mereka akan di gelar pada acara ini.
Festival akan di isi dengan parade atau arak-arakan pasukan Bee-Kun dan beberapa pendukung lainnya. Arak-arakan sendiri akan di mulai dari klenteng Tay Kak Sie di daerah Semawis dan berakhir di klenteng Sam Poo Kong yang berada di daerah Simongan, sebelah barat daya kota Semarang. Peserta arak-arakan sendiri terdiri dari lintas agama, etnis maupun budaya. Mereka dalam parade ini menggunakan topeng Bee-Kun, karakter topengnya sendiri terdiri dari ratusan jenisnya, namun beberapa peserta arak-arakan lansung mencoreng moreng mukanya seperti karakter dalam topeng-topeng Bee-Kun, jika di perhatikan karakter-karater dari topeng Bee-Kun mirip dengan yang ada dalam sebuah pertunjukan opera China.
Selanjutnya keramaian terpusat di depan bangunan utama komplek klenteng, dua buah tandu di bopong sambil digoyang-goyangkan, saya tidak tahu maksud dari menggoyang-goyangkan tandu itu, yang jelas terlihat dalam tandu itu berisi patung dewa dewi yang sangat di agungkan oleh sahabat-sahabat keturunan Tionghoa di negeri ini. Kesenian barongsai dan liong silih berganti menunjukkan kehebatan mereka, sang liong menari-nari dengan indahnya, sementara itu barongsai dengan lincahnya menari di iringi dengan alunan musik khas yang menghentak. Sementara itu di sebuah panggung sedang di gelar kesenian khas jawa, seperti tari srimpi dan lawakan khas ponakawan, kembali lagi saya di buat kagum oleh pembauran dua kebudayaan besar.
Ternyata selain Putri ada dua lagi sahabat baru yang baru kali ini bertatap muka, Lukki dan Giri, mereka berdua berasal dari Surabaya, sineas-sineas muda yang selalu saya kagumi karya-karyanya, obrolan yang mengalir diantara kami berempat tidak jauh-jauh dari petualangan, foto dan video, sangat seru obrolan yang terjadi, hingga akhinya kami harus mengakhiri keseruan hari ini di komplek mesjid agung Semarang, kejadian kecil terjadi ketika taksi yang kami pesan tidak kunjung datang, sementara waktu keberangkatan kereta bisnis saya sudah semakin menipis, alhasil saya akhirnya berpamitan kepada mereka untuk mencari moda transportasi apa saja untuk kembali ke stasiun.
Sudah cukup jauh rasanyan kaki ini melangkah belum juga ada tanda-tanda angkot ataupun taksi lewat daerah itu, begitu melihat becak melintas hati saya menyambut girang sekali, tanpa bertanya harga sebelumnya, seperti kebiasaan saya jika harus menggunakan jasa ojek maupun becak agar tidak terjadi kesalah fahaman di akhir. Setelah lima menit perjalan sang tukang becak bertanya “badhe tindak pundi mas?” (Mau kemana mas?), “stasiun Tawang pak, tapi tolong anterin saya sampai rumah sakit aja, pikiran saya di rumah sakit biasanya suka ada taksi maupun ojek nongrong, nah kenapa petang itu semua menghilang, tukang becak itu seolah tahu kebimbangan saya akhirnya di menawari saya untuk diantarkan sampai stasiun.
Bagi saya yang buta sama kota Semarang, saya tidak tahu seberapa jauh jarak yang harus di tempuh oleh tukang becak itu, setah deal dengan tawaran dia yang menurut saya masih di bawah ekspetasi saya, memang otak saya sudah teracuni kehidupan Jakarta yang begitu mendewakan uang. “Ngebut dikit ya pak, dah mepet neh waktunya” saya mencoba memberitahu bahwa saya butuh waktu secepat mungkin untuk sampai di stasiun tawang, karena biasanya kereta berangkat tepat waktu, nah kejadian lucu dan sedikit memacu adrenalin saya adalah ketika becak membelok namun dengan kecepatan tinggi, roda sebelah kanan depan terangkat, saya hanya bisa tertawa ngakak karena kejadian seru itu. Dan tepat pukul 20:00 kereta senja utama Semarang melaju membawa jiwa lelah ini menuju pada kesemrawutan Jakarta.