Bait demi bait puisi yang keluar dari mulut seorang penyair gaek asal Sumbawa itu membuat bulu kuduk merinding. Penggambaran yang jelas bagaimana dahsyatnya letusan gunung Tambora pada 201 tahun yang lalu. Setidaknya ada puluhan ribu jiwa terkubur, tiga suku hilang dan menyebabkan Eropa tanpa cahaya matahari untuk dalam waktu lama.
Malam ini kami semua tertunduk dengan perasaan terkoyak oleh bait-bait pusi “Tambora 1815” yang di bacakan penuh rasa oleh sastrawan sepuh asal Sumbawa, H.Dinullah Rayes. Rasa yang kembali menyatukan kami kembali dalam sebuah acara Ziarah Tambora.
Selain puisi yang dibacakan, setidaknya ada sekitar 40 seniman yang menampilkan karya seninya. Baik dari dalam maupun luar negeri. Dari denting sitar yang lembut sampai rentak dari alat musik dinamis asal Afrika membuat semua pengunjung yang hadir ikut merasakan aura yang hadir di pendopo Kabupaten yang juga tidak berumur muda ini.
Ziarah Tambora adalah event yang gelar dalam rangkaian acara tahunan yang di gelar oleh Propinsi Nusa Tenggara Barat. Kali ini sudah tahun kedua festival ini di gelar. Dan ide untuk Ziarah tambora ini di gawangi oleh seorang budayawan yang juga putra Sumbawa, Taufik Razen.
Rombongan seniman dari 12 negara ini akan ikut dalam helatan Ziarah Tambora ini. Pembukaan di lakukan di Pantai Kuta Lombok, selanjutnya rombongan akan meluncur ke Sumbawa. Mampir sejenak untuk melihat panorama indah di gili Kenawa yang menjadi pintu masuk pulau Sumbawa.
Setelah malam Alunan Semesta 2016 di pendopo kabupaten itu, Rombongan bergerak ke pelabuhan Jonggar yang ada di kecamatan Maronge. Dari desa Labuan Sangur inilah etape Ziarah Tambora akan di lakukan. Masyarakat sungguh antusias sekali. Puluhan perahu nelayan di hias sedemikian rupa sehingga terlihat sangat meriah sekali. Bahkan ada satu perahu yang memboyong sound system dan penyanyinya ikut memeriahkan jalannya acara.
Jadi naik kapal mengarungi indahnya teluk saleh, trus di hibur sama lagu Bang Toyib kan asik sekali. Tapi syairnya sungguh menyindir dan “mak Jleb!!” kesaya sekali ketika bercerita tentang bang Toyib yang tidak pernah pulang.
Saya dan beberapa Blogger lain mendapat satu kapal kecil yang di lengkapi dengan banana boat. Hal ini membuat sahabat saya Fiona yang kami juluki miss mutiara petualang bergembira sekali. Awalnya kami sangat bahagia dapat perahu mungil canggih dengan mesin yang berekcepatan tinggi. Tapi ternyata salah besar sob, di tengah perjalanan pak sopir kapalnya, ngepat ngepot dengan manuver-manuver tajam seperti sedang membawa grup ber-banana boat. Jadinya perasaan saya sangat galau sekali.
Tidak bisa merekam gambar perjalanan sekalipun karena khawatir dengan keseimbangan perahu kami. Belum lagi kekhawatiran bahwa kamera dan laptop saya ikut dalam kapal tersebut. Kalau saya yang kecebur sih tinggal melayang-melayang cakep sambil pose-pose poto nan indah, nah kalau Laptop? lenyaplah kenangan mantan bersamanya.
Berlayar di Teluk Saleh memang sangat menakjubkan. Hamparan laut biru yang bening, pulau-pulau kecil yang menghijau serta hamparan coral-coral sehat yang bisa kita pandangi dengan matate telanjang saja. Tujuan pertama dari rombongan perahu hias ini adalah gili Gambus, pulau kecil yang berumput tebal itu. Dulunya pulau ini bernama gili meriam besar. Tapi tidka tahu kenapa, sekarang namanya di rubah menjaid gili Gambus. Mungkin karena bentuknya sekilas sama dengan alat musik gambus itu.
Melihat bukit gili Gambus yang hijau nan unyuk, saya, Fiona dan Nyonya besar Swastika Nohara langsung pasang pose-pose nista nan indah dan damai. Gili Gambus yang seba hijau ini memang tempat yang asik buat foto-foto. Nah tak jauh dari bukitnya, terhampar pantai pasir putih yang memikat. Jernihnya air laut dan suburnya karang-karang di dalamnya juga semakin membuat saya ingin menceburkan diri.
Di gili Gambus ini, para seniman kembali menggelar helatan panggung hiburannya bersama masyarakat Teluk Saleh. Beberapa karya dari peserta ziarah Tambora – Moving Festival ini di tampilkan. Masyaarkat terlihat sangat antusias sekali. Mereka mengerubingi satu buah pohon rindang satu-satunya yang ada di pulau itu. Pohon rindang itu memang di sulap menjadi pangung dadakan bagi para seniman peserta ziarah ini untuk menampilakn karya-karyanya.
Pertunjukan di tutup dengan penampilan Mustofa Daood, pentolan dari grup musik DEBU. Para ibu-ibu dan remaja putri terlihat paling antusias ketika Mustofa Daood dan salim sang adik maju untuk menampilan tembang-tembang gambus andalannya. Semua seperti tersihir ketika bait-bait cinta terlantun manis dari suara merdu Mustofa Daood.
Di gili Gambus ini juga di lepas permulaan lomba Mancing oleh bapak Wakil Bupati Sumbawa. Perahu-peprahu hias yang tadi bergerak bersamaan, akhirnya berpencar mencari spot terbaik untuk memancing. Setelah semuanya pergi, Gili Gambus kembali sepi. Itu pertanda bahwa saya dan teman-teman juga harus melanjutkan perjalanan ke Gili Tapan.
Nah di Gili Tapan ini juga nantinya perhelatan gambus Lautan agak di gelar juga. para peserta yang terdiiri dari seniman lokal, seniman tamu dari negeri-negeri lain dan para anggota komunitas penggemar perjalanan berkumpul menjadi satu dalam sebuah perkemahan yang terletak di bukit belakang pulau Gili Tapan. Dan gili Tapan sore itu terlihat meriah sekali. Banyak orang berlalu lalang di jalanan desa yang sempit. Sebuah panggung sederhana di buat di pinggir pantai di atas tebing dengan latar belakang pulau Dempu yang indah. Nantinya di panggung inilah para seniman itu akan tampil.
Ada satu hal unik yanhg saya lihat di Gili Tapan ini. Di pulau yang gersang ini tumbuh sebuah pohon kurma yang sudah tinggi sekali. Ketinggian dari pohon kurma ini menandakan bahwa usianya juga sudah tidak muda lagi. Banyak kepercayaan yang beredar menyangkut keberadaan dan khasiat dari pohon kurma itu. Yang paling banter peredarannya adalah perihal baik buat yang ingin punya keturunan.
Satu demi satu lokasi yang di jadikan helatan dari Ziarah Tambora 2016 ini di sambangi peserta. Bertolak dari Gili Tapan ke Gili Ngali kemudian ke Satonda. Dari Satonda perjalanan di lanjutkan ke Labuan Kanangan desa Pancasila, Ndoro Canga. Puncak dari ziarah Tambora team seniman ini berakhir di Bima. Tujuan utama dari Ziarah Tambora ini supaya kita tidka melupakan peristiwa dahsyat yang pernah terjadi di pulau Sumbawa ini. Letusan Tambora yang terjadi 1815 telah mematikan lebih dari 91000 jiwa, dan radius letusannya mencapai 26000km, hingga menghancurkan 3 kerajaan, dan membuat pulau Sumbawa gelap gulita selama 2 hari lamanya.
201 Tahun sudah berlalu, Ziarah Tambora kembali di gelar, agar kita semua bisa mensyukuri nimat dan berserah atas kebasaran penguasa alam raya ini. Duka tidak perlu di ratapi, bencana tidak usah di sesali, karena sudah saatnya kita songsong mentari pagi dengan bagahia yang senantiasa menanti.
Terimalah ziarah kami Tambora!!