Jajaran rumah panggung yang terletak diatas perbukitan itu sungguh menarik perhatian saya. Bebatuan yang tersusun rapi di bawahnya juga mengisaratkan bukan sebuah kampung biasa. Setidaknya bagi saya, penggila kampung-kampung adat yang ada di Nusa Tenggata Timur ini. Kampung Wolotopo namany. Perkampungan kuno yang masih menganut kepercayaan pada Bebatuan.Menuju kampung Wolotopo tidak lah susah. Kurang dari 45 menut perjalanan dari kota Ende menuju ke arah timur. Dan mau tau rute perjalanannya seperti apa?
Pantai Nanganesa menyambut saya dan team #PesonaEnde yang sore itu berkunjung ke kampung Wolotopo. Sepanjanh perjalanan saya di suguhi oleh pemandangan pantai yang indah. Walaupun bukan pantai pasir putih, tapi pantai Nanganesa punya pesona tersendiri. terlebih ditengah laut sana berdiri kokoh gunung Iya yang berwarna biru keabu-abuan. semburat senja sudah hampir tiba.
Memasuki kampung Wolotopo saya di sambut oleh bangunan gereja yang berdidi kokoh. Sementara di perbukitan atas gereja, terlihay rumah-rumah kayu yang berjajar rapi, dengan pondasi bebatuan yang tersusun rapi. setidaknya ilmu arsitektur kuno itu sudah membuktikan bahwa kekuatan struktur pondasi bangunan kampung itu hingga saat ini. Tujuh generasi sudah kampung itu menjadi saksi perubahan dari generasi ke generasi.
Riuh bocah-bocah yang sedang asik bermain menyambut kedatangan saya. Mereka terlihat antusias sekali ketika saya membidikkan arah kamera ke mereka yang sedang asik bermain. Tak mau ketinggala, beberapa gadis yang sepertinya sedang memperbincangkan kehadiran saya disana juga memasang aebyum terbaik ketika saya jepret.
Sejenak saya berkeliling kampung sambil sesekali bertanya kepada mama-mama yang sedang bersantai. Dulu di Wolotopo punya empat rumah besar atau dalam bahasa likal di sebut Sao Ria. Diantarabya adalah Sa’o Tarobo, Sa’o Ata laki, Sa’o Sue dan Sa’o Taringgi. Namun sayang, seiring perkembangan jaman, sekarang hanya tinggal Dua Sa’o saja yakni Sa’o Ata Laki dan Sa’o Sue.
Sore beranjak malam. semburat langit barat juga mulai menampakkan keajaibannya. Bergegas saya menaiki tangga-tangga Batu menuju ke tempat paling tinggi di kampung itu.
Dari tempat twrtinggi desa Wolotopo itu, saya bisa melihat panorama alam yang sangat indah. Dari sana juga saya melihat masih adanya batu-batu yang di keramatkan oleh warga dan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari kayu.
Rasa keingintahuan saya besar sekali tentang bangunan apakah itu. Tapi untungnya asa bapak-bapak yang menjelaskan kepada saya bahwa bangunan itu adalah Kedha Kanga,nyakni bangunan tempat menyimpan tulang belulang leluhur kampung. Pantesan saja aura magis terasa begitu kental ketika senja saya masih berada di dekat sana.
“Tadi keluar atau masuk rumah tidak ada yang tersandung kan?” Pertanyaan dari pemilik rumah yang baik hati membuat saya sedikit khawatir sambil kembali mengingat. Tersandung gak ya tadi?. Setelah mendapat penjelasan, kalau tersandung di bagian pintu masuk, itu artinya asa teguran dari leluhur mereka. Dan biasanya akan diasakan upacara kecil-kecilan untuk memohon kepada leluhur mereka.
Rumah adat di kampung Wolotopo ini biasa di sebut juga dengan Sa’o Ria Tenda Bewa. Biasanya rumau besar itu bisa di huni hingga enam kepala keluarga. seperti halnya rumah-rumah adat di kampung Wae Rebo, Manggarai sana. ketika memasuki rumah, saya melihat ada dua set tungku yang sepertinya terbuat dari batu. Jadi ada enam dapur di satu rumah itu. Sehingga ketika memasak tidak perlu saling merepotkan.
Ada juga bilik-bilik untuk beristirahat. Dan menurut penuturan pemilik rumah, para pemudanya tidur di teras depan rumah.
Petang sudah berganti malam. Suasana kampung tradisional seperti di Wolotopo ini terasa begitu damai. Kesan kesederhanaan dan tradisional terasa begitu kenyal. Hal ini semakin dikuatkan dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan megalith yang masih terlihat seperti meja-meja peraembahan yang terbuat sari batu-batu besar. Sebuah menhir yang diperkirakan umurnya sudah tua sekali juga saya lihat tidak jauh dari Kedha Kanga di atas puncak bukit.
Dan malam makin terlihat gelap. Matahari juga sudah kembali ke praduannya. Yang tertinggal hanyalah suasan sunyi yang menengkan dari sebuah kampung yang masih memegang teguh warisan leluhur mereka. Ingin rasanya berlama-lama disana. Ikut tidur di teras rumah bersama warga. Dan menyambut pagi dari atas bukit sambil menyapa gunung Iya di tengah laut sana.
Sungguh ini sebuah pengalaman yang tidak akan mudah untuk saya lupakan. satu bukti lagi bahwa negeri ini sunggu kaya akan warisan budaya leluhur yang adiluhung. #PesonaEnde benar-benar saya rasakan dalam perjalanan kali ini. Selamat Tinggal Wolotopo.
Itu atapnya beda lagi bentuknya ya dengan yang di Koanara, Moni. Ini dibagi lagi rumah Sa’o Ria laki-laki dan perempuan juga sepertinya. Seneng euy, baca-baca tentang desa adat begini, lihat persamaan dan perbedaannya.
Kalau simbol di dalam rumahnya itu mirip seperti yang di atas tungkunya Wae Rebo, yang tempat menyimpan kayu bakar, cuma kalau di Wae Rebo bulat. Katanya sih itu simbol kepala bayi yang kalau lahir kepala lebih dulu, jadi bulatannya di bawah..
Flores kaya sekali budayanya seperti ini, ya..
Banget…pengen buat tulisan tentang desa-desa adat yang pernah ku kunjungi ah di NTT 🙂
Hahahahaha lucu anetttttt. Aku belum nulis ini soalnya rekamannya masih ada di hape yang rusak. Hiks :'( Nice pict and story, Om Bol 😉
Tengkyu kaka Satya…lah knapa rusak hape-nya?
sayang banget aku waktu itu g mampir kesini 🙁
wah padahal cucok lho om, yok ah ksana lagi 🙂
wahh pemandangannya kece banget 😀
https://www.vonnydu.com
Orangna juga kece kok.. he he
Gadis-gadisnya cantik-cantik, bang. 😀
Kalau tamu nginapnya di mana, bang? Di Sa’o itu juga?
Apik tenan mas. 🙂 Foto-fotomu memang selalu juara.
waaaah pengen banget ke sana, mas! anak-anak wolotoponya lucu-lucu banget. bikin kangen sama anak-anak kecil di sorong juga! :”)
Sila baca posting terbaru blog #senjamoktika -> Menujuh Kalimantan https://wp.me/p39Fhn-pH #Terios7Wonders
Wow..
Mantap sekali pemandangannya mas (y)