Alam dan adat budaya menarik di Sumba barat daya

11

“Kringgggggg” raungan alarm di ponsel saya pagi itu seolah hendak membangunkan siapa saja yang berada di dekatnya. Sedikit kaget dan dongkol saya rasakan. Tapi pada akhirnya saya bersyukur sudah di bangunkan oleh sang alarm ponsel sialan itu.

Menyibak tirai kamar hotel murah meriah itu saya dibuat terpesona dengan warna langitnya. Tanpa di komando untuk kedua kalinya pun saya akhirnya bergegas memaksa tas kamera saya untuk segera naik keatas gendongan saya. Melihat warna langit yang aduhai pagi itu rasanya sayang jika hanya dilewatkan dengan melanjutkan tidur.

Pagi di Waikelo
Pagi di Waikelo

Motor butut yang tanpa dilengkapi lampu dan rem saya pacu untuk mengarah ke lokasi pelabuhan Waikelo. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi ini. Dari hotel Melati yang letaknya di kota Waitabula hanya dibutuhkan waktu sekitar 10-15 menit. Sampai di pelabuhan sudah sedikit telat sebenarnya, Namun warna langit pagi itu begitu menggelora. Awan sedikit berarak dengan di tingkahi oleh bias cahaya matahari yang hendak muncul ke jagad raya. Sungguh pemandangan alam yang luar biasa sekali.

Beberapa kapal terlihat sedang bersandar di ujung dermaga. Di kejauhan para nelayan juga sudah terlihat hilir mudik mencari ikan di laut dekat pelabuhan Waikelo. Anak-anak kecil juga terlihat riang sekali bermain air di pinggir pantai yang berpasir putih. oh ya dikarenakan Sumba tidak mempunya gunung api, maka rata-rata pantai di pulau ini berpasir putih. Seorang anak buah kapal menghampiri saya sambil menawarkan sebatang rokok. Sebagai salam perkenalan saya ambil rokok tersebut dan dia menyulutkan api dari korek gas nya ke ujung rokok yang sudah bersandar manis di bibir saya. Seandainya segelas kopi hitam menemani pasti akan jadi pagi yang menggairahkan ha ha.

Setelah matahari mulai tinggi saya kembali ke hotel. Tepat pukul 07:30 saya sudah berada di hotel kembali. Sesuai rencana kami akan bertolak ke Kodi tepat pukul 08:00 WITA. Namun apa daya karena kebiasaan jam Indonesia dan salah satu travelmate saya yang susah bangun pagi hingga akhirnya jam 9:00 kami baru bertolak menuju Kodi ha ha.

Perjalanan menuju Kodi ternyata cukup melelahkan. Jalanan rusak parah hampir saya jumpai di sepanjang perjalanan. Namun pemandangan di sepanjang jalan lumayan menghibur saya. Rumah-rumah adat lengkap dengan kubur batu di halaman depan nya. Hutan serta perbukitan juga seolah masih terlihat sangat membuai perjalanan saya.

Tidak terasa sudah satu jam lebih kami bercengkrama dengan jalanan rusak, hingga akhirnya kami menemukan Polsek Kodi yang akan menjadi cek poin kami.  Mas Raya sudah menunggu kami. “Katanya paling telat jam 8 sudah berangkat dari Waitabula” pertanyaan meledek yang membuat Ratih tersenyum-senyum nakal, karena memang dialah biang kerok nya hingga kami baru start dari Waitabula jam 09:00 ha ha.

kampung Ratenggaro
kampung Ratenggaro

Rencana kembali kami susun untuk eksplore daerah kodi dan sekitarnya, padahal sebelumnya saya juga tidak mengetahui ada apa aja di daerah ini. Rencana dadakan sudah tersusun, tujuan utama adalah kampung Ratenggaro, sebuah kampung tradisional yang masih memegang teguh kepercayaan Marapu. Letak kampung ini sangat indah sekali, di atas sebuah tebing yang bawahnya terdapat sebuah muara sungai yang bersebalahan dengan laut yang berpasir putih. Sementara itu di pinggir-pinggir pantai terdapat beberapa kubur batu leluhur mereka. Bongkahan-bongkahan batu raksasa itu seolah menyimpan banyak sekali misteri yang belum terungkap.

Langit siang itu cukup terik, namun saya seolah tidak merasakan sengatan sang surya karena di buai oleh pemandangan yang luar biasa sekali. Sebuah hamparan kubur batu diatas padang rumput yang terletak di tepi pantai. Langit biru di tingkahi oleh beraraknya awan juga semakin membuat siang itu begitu mempesona. Belum lagi deburan ombak di pinggir pantai juga seolah menyiratkan sebuah keindahan yang tiada tara.

Kubur Rato di kampung ratenggaro
Kubur Rato di kampung ratenggaro

Terlihat satu kubur batu yang agak berbeda, terbuat dari batu hitam dan paling tinggi dan besar jika dibandingkan dengan beberapa kubur batu yang lain. Ukiran-ukiran juga menjadi ornamen hiasan di kubur batu tersebut. Setalah beratanya-tanya ternyata itu adalah kubur batu seorang Rato atau ketua adat di kampung Ratenggaro.

Puas menikmati pemandangan alam di pingir pantai saya mulai menyisir memasuki kampung Ratenggaro. Setelah mengisi buku tamu dan mengisi sedikit sumbangan serta melapor maksud kedatangan kami pada tetua adat disana, saya mulai berkeliling melihat eloknya kampung tradisional ini. Rumah-rumah adat khas Sumba barat daya terlihat begitu anggun dengan atapnya yang menjulang tinggi ke angkasa.

Atap rumahnya tinggi-tinggi
Atap rumahnya tinggi-tinggi

Jika saya bandingkan dengan beberapa rumah adat yang pernah saya lihat selama di Sumba, hanya di kampung Ratenggaro ini lah yang memiliki atap tertinggi. Biasanya bagian atap ini untuk menyimpan bahan makanan yang akan mereka konsumsi seperti jagung dan lain-lain. Sedangkan di bagian bawah ada sebuah tungku yang menjadi titik tengah dari pertemuan diagonal rumah. Rumah-rumah adat di Sumba semuanya di buat dengan bentuk rumah panggung. Bagian bawah rumah biasanya di gunakan untuk memelihara ternak seperti babi dan unggas.

Nama Ratenggaro atau Rategaura berasal dari dua kata. Rate berarti kuburan, dan Gaura adalah nama daerah orang pertama yang menghuni kampung ini. Sejatinya dulu kampung ini berada tepat di pinggir pantai, tempat dimana saya menemukan beberapa kubur batu di pinggir pantai tadi. Namun karena abrasi mengharuskan warga kampung untuk memindahkan kampungnya keata  sebuah tebing.

Halaman rumah yang luas
Halaman rumah yang luas

Sedang asik merekam sudut demi sudut kampung yang berbatasan langsung dengan kampung Wainyapu (kampung pasola) ini, indera penglihatan saya tertarik dengan beberapa bocah lucu yang sedang bermain bola di halaman sebuah rumah adat di kampung ini. ada dua bocah kecil yang terlihat telanjang dengan ingus meler dari hidungnya sedang asik bermain di halaman. Mereka tidak mempedulikan sengatan panas matahari yang begitu terik siang itu.

Beberapa kuda juga terlihat sedang asik merumput di samping rumah. Dibagian halaman rumah Rato saya melihat beberapa kubur batu kuno yang jika melihat bentuk fisik batu yang ada terlihat sudah lama sekali. Beberapa kubur batu lain saya temukan di jalan masuk kampung ini. Jejeran kubur batu ini tertata rapi di samping kiri dan kanan jalan masuk kampung ini. Beberapa juga sudah di modifikasi dengan adukan semen. Kampung ini di kelilingi oleh pagar yang terbuat dari tumpukan batu yang di susun mengelilingi kampung.


Siang itu begitu terik ketika saya meninggalkan kampung ini. Rasanya masih ingin berlama-lama berada di kampung yang selain indah juga sarat dengan nilai budaya. Tidak heran jika banyak sekali wisatawan mancanegara berkinjung ke kampung ini. Harapan saya hanya satu, semoga kampung ini masih tetap dengan kesederhanaan dan tetap memegang teguh adat istiadat mereka di tengah gencarnya era Globalisasi di segala bidang ini.

Pantai Pero
Pantai Pero

Laju motor selanjutnya mengarah ke sebuah pantai dimana terdapat perkampungan nelayan Bugis disana. Pantai Pero, sebuah kawasan pantai yang memiliki pasir putih dan tebing-tebing karang terjal serta deburan ombak menghantam karang yang sangat aduhai sekali.

Kedatangan saya di sambut oleh riauhnya anak-anak kecil yang sedang bermain. Melihat mereka bermain dengan riang sekali seolah saya dibuat iri sekali. Mereka tidak memperdulikan sengatan matahari yang terlihat jahat sekali siang itu. Kami berempat hanya bisa berteduh sejenak di bawah sebuah bangunan  pengawasan pantai. Sesekali saya juga mangabadikan keindahan pantai Pero siang itu kedalam lensa kamera yang saya bawa.

Dermaga nelayan di Pantai Pero
Dermaga nelayan di Pantai Pero

Panas yang menyengat membuat kami tidak betah berlama-lama berada di pantai itu. Tidak jauh dari lokasi pantai dengan karang-karang terjal itu saya menemukan sebuah teluk kecil yang di gunakan oleh nelayan untuk melabuhkan kan perahu meraka.

ombak di pantai Pero
ombak di pantai Pero

Lokasinya terlihat aman dari ombak, mungkin ini alasan para nelayan bugis yang mayoritas muslim di kampung ini menambatkan perahu meraka diteluk ini. Anak-anak juga masih terlihat asik bermain air di pantai ini. Sesekali mereka meloncat untuk minta di foto. Mereka terlihat antusias sekali ketika Ratih salah satu travelmate saya memotret mereka.


Mendung gelap tiba-tiba saja hadir, ketika saya masih asik menikmati indahnya pantai Pero ini. Dengan hadirnya mendung ini saya harus segera bergegas meninggalkan pantai indah ini. Nah dari sini petualangan sesungguhnya dimulai. Diantara kami berempat belum ada yang pernah sampai ke sebuah danau bentukan alam dimana airnya berasal dari air laut yang terjebak masuk dari celah-celah karang.

Danau waekuri
Danau waekuri

Danau Waikuri namanya. Saya tertarik mengunjungi danau ini setelah melihat foto yang ada di pusat penelitian dan pengembangan budaya sumba yang di jepret oleh Pater Robert kemarin. Untuk menuju kesana ternyata tidaklah mudah. berkali-kali mas Raya bertanya kepada penduduk sekitar yang kebanyakan mereka juga tidak tahu dengan danau yang kami maksud.

Setelah melewati desa Tossi yang menjadi lokasi pasola beberapa hari yang lalu, dan beberapa kali nyasar juga, akhirnya kami menemukan danau itu. “Takjub” itulah yang saya rasakan ketika melihat fenomena alam yang begitu sempurna ini. Sebuah danau air asikn yang bening yang di kelilingi oleh tebing karang yang sangat terjal sekali. Karena letaknya tersembunyi membuat danau ini masih sangat alami.

Mau berenang? yukssss
Mau berenang? yukssss

Namun sayangnya belum puas saya menikmati keindahan itu hujan tiba-tiba saja turun. Saya buru-buru membereskan semua perlengkapan foto saya dan menutup tas dengan sebuah raincover yang selalu menempel di tas kamera saya.

Rintik hujan dan hari yang mulai sore membuat kami terpaksa untuk meninggalkan danau indah itu. Sekilas bentukan nya seperti sebuah laguna di pulau Sempu Jawa Timur, Namun jujur ini lebih indah dan sepi. Belum ada sampah berserakan seperti di sempu, dan enaknya lagi jalur menuju lokasi ini lebih gampang jika dibandingkan dengan sempu yang jalurnya sangat aduhai sekali jika musim hujan tiba. Semoga saja danau ini tetap lestari dan terlindung dari tangan-tangan jahil yang bisa membuat kelestarian danau ini terganggu.


Perjalanan belum usai kawan. Setelah beristirahat sejenak di polsek Kodi akhirnya kami harus menempuh  perjalanan pulang menuju kota Waikabubak. Perjalanan ini juga menyiratkan sebuah kenangan indah tersendiri. Jarak yang harus kami tempuh sekitar 120km. Kondisi jalan antara Kodi-Waitabula masih rusak parah. Sampai di Waitabula hari masih sedikit terang. Kami berhenti sejenak untuk menyantap hidangan makan siang kami yang telat.

Sebagai pelajaran jika hendak menuju Kodi siapkan perbekalan makanan, karena akan sangat jarang bahkan tidak ada warung yang menjual makanan di daerah ini. Karena tidak tau akan hal ini maka saya harus menahan lapar yang hinggap hingga saya sampai di kota Waitabula yang notabene adalah ibukota dari kabupaten Sumba Barat Daya.

Dua piring nasi padang sudah bersarang manis di perut sexy saya, itu tandanya perjalanan menuju Waikabubak harus segera dilanjutkan. Ternyata sensasi berkendara di suasana gelap, di tengah rintik hujan serta dengan menggunakan sepeda motor yang lampu depannya mati segan hidup tak mau ini begitu luar biasa.

Ditambah lagi rem depan motor ini tidak ada, sementara rem belakang sudah aus kelihatannya, ini terasa jika saya mengerem, pijakannya sangat dalam sekali, tak jarang justru handle rem yang saya pijak bergesekan dengan aspal di jalanan, belum lagi anjing yang tiba-tiba saja menyeberang jalan tanpa memberi tanda dulu kalau dia mau menyeberang, (he he emang anjing bisa melambaikan tanggan memberi kode kalau dia mau menyeberang jalan ya). Lebih asiknya lagi dari tiga motor yang sedang konvoi kali itu hanya satu motor yang hidup lampunya. Ah sudahlah, ini menjadi pengalaman yang luar biasa sekali menembus gelapnya jalanan Sumba Barat Daya menuju Sumba Barat dengan sensasi pemacu adrenalin yang begitu menggoda sekali.

DI kampung Ratenggararo
DI kampung Ratenggararo
Yihaaaa walaupun panas nya puoolll
Yihaaaa walaupun panas nya puoolll
seorang warga Ratenggaro
seorang warga Ratenggaro
Kampung Ratenggaro
Kampung Ratenggaro

Akhirnya tepat jam delapan malam kami semua sampai dengan selamat di kota Waikabubak. Semua terlihat capek dan lelah, tak terkecuali saya. Putri malah langsung masuk kamar dan tidak keluar-keluar lagi. Sungguh pengalaman yang luar biasa yang tidak akan saya dapatkan jika saya tidak mengunjungi pulau ini secara langsung. Sumba itu Indah Kawan.

Penganut Pesan Kakek "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu". Suka Jalan-jalan, Makan-makan, Poto-poto dan Buat Video. Cek cerita perjalanan saya di Instagram dan Youtube @lostpacker

Related Posts