Kenangan tentang sebuah pagi yang mendung di pertengahan januari itu rasanya belum hilang dari ingatan. Hari dimana saya harus mengakhiri kegiatan di Misool Selatan ini. “Raja Ampat Volunteering” begitulah kami menamai kegiatan itu.
Teman, sahabat dan saudara baru yang saya dapatkan di Misool ini harus segera saya tinggalkan. Sedih, haru dan entah perasaan apalah itu namanya yang saya rasakan. Dua bulan bukanlah waktu yang lama, tapi tidak bisa di bilang singkat juga. Sudah banyak sekali kenangan yang terukir disana dalam masa dua bulan itu. Satu bagian yang selalu saya benci dari sebuah perjalanan adalah ketika harus berpisah dengan orang-orang baik yang sudah membantu kita dalam perjalan.
Dalam kegiatan ini, aku dan Sefiin, rekan saya berkegiatan di misool ini mengabdi selama dua bulan di pulau indah namun susah akses ini. Seperti kita tahu, Misool adalah salah satu pulau besar di kabupaten Raja Ampat. sebuah kabupaten yang beribukota di Waisai. Raja Ampat sendiri sekarang sedang menuai buah manis dari keindahan alamnya.
Bahkan bagi beberapa pejalan di negri ini, Raja ampat adalah destinasi impian yang dengan susah payah mereka akan dapatkan. Tapi dibalik sampul manis ranumnya pariwisata disana, saya banyak menemukan fakta yang kalau saya ingat dada ini serasa sesak menahan haru. Sebuah fakta yang selalu saya jumpai di beberapa ujung nusantara, sebuah fakta bahwa kesejahteraan ternyata masih menjadi dongeng manis yang bisa me-ninabobokan mereka.
“anak kelas lima SD disini masih banyak yang belum bisa baca pak”
Kata seorang guru di desa Dabatan, sebuah desa hasil pemekaran dari desa Yellu yang sudah semakin padat. Kadang saya heran kenapa sampai kelas lima SD masih belum bisa baca. Tapi ternyata itu tidak berlaku di desa itu saja. Banyak sekali sekolah di desa-desa lain yang memaparkan fakta pahit seperti ini. Saya membayangkan jika baca tulis saja mereka tidak bisa, bagaimana mungkin mereka ikut menikmati ranumnya gempuran pariwisata yang masuk ke Raja ampat.
Dalam #raja4volunteering saya berdua dengan sefiin, panggilan sayang buat dara manis bernama lengkap Josefine yaputri ini. Kami berdua diajak oleh sebuah yayasan di Misool untuk membantu kegiatan mereka. Yayasan Misool Baseftin namanya. Yayasan ini sejatinya adalah program CSR dari Misool Eco Resort. Sebuah resort yang beroperasi di Misool selatan.
Tugas sefiin adalah mengajar bahasa Inggris kepada siapapun yang ada di lingkungan Misool. Sementara saya lebih pada kesadaran mereka terhadap pariwisata dan memperkenalkannya kepada dunia luar. Jadi saya lebih banyak sharing cara-cara merekam gambar kepada teman-temen ranger dan karyawan yang berada di lingkungan Misool Eco Resort dan Misool Baseftin.
Tapi ternyata mengajari mereka, para ranger ini dengan hal-hal baru bukanlah perkara mudah. Bahasa Inggris misalnya. Para ranger ini sejatinya adalah warga lokal yang tugasnya menjaga daerah konservasi dari tangan-tangan jahil yang berusaha mencuri ikan ataupun hasil laut lainnya atau bahkan mengebom di wilayah Misool ini. Hampir setiap hari mereka berpatroli mengeliling daerah konservasi yang sudah di sepakati dengan pihak adat dan desa untuk tidak boleh melakukan aktifitas mengambil apapun di lokasi itu.
“One, Two, Three, Four, Five, Six, Seven, Sin…”
Setengah berteriak Mato, salah seorang ranger berusaha menghafal hitungan dalam bahasa Inggris. Tapi lagi-lagi dia gagal mengingat sebutan angka setelah angka tujuh. Semua ranger yang ikut belajar malam itu bersama Sefiin tergelak. Lagi-lagi Mato jadi bahan becandaan oleh teman-temannya sesama ranger.
Dan angin kencang dan gelapnya malam biasa memberi tanda bahwa pejalaran malam itu harus segera di akhiri, karena beberapa dari mereka harus kembali melakukan tugas berpatroli di malam hari.
Menurut pandangan kami berdua, kalau dua unsur yakni bahasa Inggris dan Fotografi/videografi itu bisa di kuasai oleh para pemuda-pemudi lokal disana, niscaya mereka tidak akan hanya menjadi penonton saja dari gempita pariwisata yang semakin hari makin luar biasa gaungnya ini. Mereka akan lebih bisa berinteraksi dengan para wisatawan dari luar, dan lewat kedua unsur itu juga mereka bisa memperkenalkan daerah keluar.
Tapi dibalik itu semua, kami berdua hanyalah dua sosok anak negri yang punya keterbatasan. Ingin sekali kami bersanding dengan anak-anak kecil disana yang belum bisa membaca dan menulis. Mengajak mereka belajar bersama di pinggir pantai-pantai yang indah di pinggir desa. Bercengkrama dengan mereka serta berusaha membuka wawasan mereka bahwa dunia itu bukan hanya seluas pulau-pulau desa mereka yang mungil itu.
Tapi ternyata di daerah yang sudah menjadi destinasi wisata dunia ini saya kembali menemukan fakta bahwa bahan bakar minyak sudah di dapat. Padahal dari dulu mereka sudah membeli BBM ini dengan harga jauh dari harga eceran tertinggi yang di tetapkan Pertamina. Satu liter bensin di Misool harus di tebus dengan harga lima belas ribu rupiah oleh warganya. Kadang saya suka geli kalau mendengar selorohan mereka setelah lihat demo-demo kenaikan BBM di televisi.
“Ah baru naik sedikit saja mereka sudah protes-protes. Kami disini su biasa harga minyak mahal tidak protes-protes”
Dalam hati saya miris tapi terdengar lucu cara mereka ngomong dengan logat Papua yang kental.
Volunteer dan pariwisata, menurut saya dua hal ini harus terus di tanamkan di sanubari para generasi muda sekarang. Yang jelas esensi perjalanan buat saya bukanlan destinasi yang super indah atau super keren. Taapi destinasi sejati itu adalah cerita yang saya alami selama perjalanan itu sendiri. Saya tidak tau apakah hal-hal kecil yang lakukan selama ini masuk dalam kategori volunteer ataukah tidak. Yang bisa saya lakukan cuma hal-hal kecil seperti berbagi dengan masyarakat dan komunitas lokal tentang sedikit ilmu yang saya bisa.
Tak jarang di perjalanan menjadi guru dadakan mengajar ibu-ibu membaca, membantu mengerjakan PR dari bocah-bocah mungil yang saya jumpai dijalanan, bahkan dengan bantuan dari teman-teman komunitas yang baik hati, akhirnya mimpi saya membantu menyalurkan buku-buku bacaan ke sebuah perpustakaan gedek di Kondang Merak dan taman baca Pancaran Kasih di pulau Semau akhirnya di ijabah sama gusti Allah.
Raja Ampat sedang bersolek untuk mengundang wisatawan sebanyak-banyaknya. Pantai-pantai indah, underwater yang keren, adat budaya yang memukau adalah aset berharga bagi kabupaten yang banyak diperbincangkan oleh banyak pejalan di seantero dunia ini.
Tapi ada satu hal yang lebih penting dari itu semua, yakni sumber daya manusianya. Saya berharap suatu saat saya datang kesana lagi, resort-resort mahal itu sudah di kelola oleh warga lokal itu sendiri, tidak hanya sekedar bekerja sebagai buruh dengan upah murah seperti sekarang ini.
Saya bermimpi suatu saat saya menyelam di Raja ampat, saya bisa di dampingi oleh dive guide warga lokal yang sudah bersertifikat, bahkan saya berharap suatu saat nanti ketika anak cucu saya hendak ikut menyelam mereka bisa belajar dengan dive instruktur yang berasal dari desa-desa kecil yang ada di Misool ini. Dan saya berharap suatu saat nanti foto-foto dan video bagus tentang raja ampat adalah buah karya dari pemuda-pemudi warga desa yang tersebar di beberpaa gugusan pulau kecil disana.
Ah rasanya saya terlalu banyak bermimpi. Tapi bukankan semua berawal dari mimpi. Semoga…
Berikut beberapa kisah saya di Misool Selatan.