Kembara, sebuah kisah dari bumi Nusa Tenggara

11

Mimpi, saya yakin semua orang punya mimpi besar. Yang membedakan satu sama lainnya adalah seberaapa besar usaha dari masing-masing orang untuk menggapai mimpi besarnya itu.

Mimpi memeluk ibu pertiwi di setiap jengkal bumi Nusa Tenggara sudah lahir lebih dari 3 tahun lalu. Usaha dan upaya sudah semaksimal mungkin saya lakukan hingga akhirnya setelah 3 tahun lebih saya menggantungkan mimpi itu akhirnya bisa melakukan perjalanan menyusuri setiap jengkal keelokan bumi Nusa Tenggara.

Tiga bulan bukanlah waktu yang singkat, dan juga bukanlah waktu yang lama ketika di setiap sudut pengembaraan ini saya menemui banyak sekali kejadian. Mulai dari kejadian haru, sedih, lucu hingga bahagia. Tak jarang di beberapa kejadian saya berbahagia hingga tertawa terbahak, namun di beberapa kejadian lain saya harus menahan sesak di dada kerena haru dan kisah tragis yang saya temui di belahan timur negri ini.

Aku,motor dan TuhanJika biasanya saya melakukan perjalanan menggunakan berbagai alat transportasi masal, di Kembara Nusa Tenggara ini saya memilih membawa serta sahabat saya Rio, sebuah motor matik bekas yang saya beli tahun lalu. Berkisah tentang Rio, banyak sekali cerita lucu yang saya dapat darinya. Di setiap berjumpa dengan sahabat baru di daerah yang saya datangi, mereka selalu menerka saya membawa sebuah motor besar salam perjalanan menyusur Nusa Tenggara ini. Dan ketika saya memperkenalkan si Rio sang motor bekas saya itu, mereka selalu terpana seolah tak percaya….

Sesaat sebelum melayari laut menuju Alor

Cerita lucu lainnya sering adalah ketika saya hendak memasukin lambung kapal ferry guna menyeberang dari satu pulau ke pulau lainnya peraian Nusa Tenggara. Sering kali ibu-ibu yang saya jumpai bertanya dengan nada sopan tapi menelisik seperti ini.

“Jualan apa mas?”

Saya hanya terkekeh sambil menjelaskan kepada mereka kalau saya sedang pesiar saja, yah pesiar adalah istilah yang sering di pakai oleh masyarakat Nusa Ternggara yang berkonotasi jalan-jalan. Ada satu ibu di dermaga pelabuhan pulau adonara sampai penasaran ingin tau isi dalam box belakang motor saya, dan setelah saya buka, beliau baru percaya. Nah ketika keesokan harinya kami sampai di Alor, beliau malah mengulurkan selembar uang lima puluh ribuan buat bekal saya membeli bensin untuk melanjutkan perjalanan. Terima kasih ibu..

Beberapa kisah pilu juga banyak saya temui di jalanan, mulai dari pembangunan yang tidak merata, minimnya fasilitas dan sarana penunjang pendidikan, hingga mahal dan langkanya bahan bakar minyak yang saya temui di pulau Rote dan Sabu. Di rote saya rela mengantri berjam-jam demi dua liter bensin campuran. Kenapa saya bilang campuran, karena begitu saya menuangkannya kedalam tangki motor, yang tercium bukan bau bensin melainkan bau minyak tanah. Tapi mau-tidak mau, suka tidak suka saya harus membelinya guna melanjutkan perjalanan. Memang saat itu adalah sedang musim angin, sehingga kapal-kapal kayu pengangkut bahan bakar minyak dari Kupang tidak bisa merapat ke pulau yang sudah 5 tahun berdri sebagai kabupaten sendiri ini. Di Sabu lebih parah lagi, benjadi barang mewah, karena tidak jarang harganya melambung hingga enam puluh ribu per satu botol akua besar (1.5 liter) jika musim angina tiba seperti waktu itu.

Pulau Ndana di Ujung NegriBanyak sekali kisah yang saya dapatkan dari perjalanan ini, seperti rasa bangga dan syukur karena sudah bisa menginjakkan kaki di pulau mungil yang letaknya paling selatan negri ini. Pulau Ndana namanya, pulau tidak berpenghuni ini hanya di jaga oleh dua pos, yakni pos Marinir dan pos Angkatan Laut. Pulau mungil ini sangatlah cantik, tapi menuju kesananya dibutuhkan mental baja yang siap menerima resiko apapun karena harus melewati ombak super ganas yang buat masyarakat setempat  saja masih sebagai “pamali” untuk melewatinya, terlebih ketika musim angin seperti waktu itu. Tapi itu semua tidak berlaku buat seorang pria bugis ini. Pak Aden Namanya, beliau terkenal sebagai nelayan pemberani di desa Oeseli, sebuah desa yang masyarakatnya banyak membudidayakan rumput laut dan berprofesi sebagai nelayan.

Dengan gagah berani dia menerima ajakan saya untuk mengantarkan ke pulau Ndana. Dan ketika saya tanya  tentang kondisi cuaca beliau hanya tersenyum, senyum manis, itu artinya pelayaran saya mengarungi laut akan aman-aman saja di belakang kemudi kapalnya. Namun ternyata memang alam tidak bisa di prediksi. Perahu mungil yang saya tumpangi harus berkali-kali terpelanting di hantam ombak. Satu hal yang menguatkan saya kali itu adalah

“Tuhan selalu bersama para pejalan, Dialah yang akan menjaga para kembara dari marabahaya, Dia juga yang akan menjaga para petualang yang tersesat”

Dan ternyata perjalanan pulang menuju pulau Rote juga lebih menegangkan, karena perahu mungil itu harus menghantam ombak yang datang tiba-tiba tanpa kita tahu terlebih dahulu karena suasana gelap gulita, sementara perahu  kami tidak dilengkapi dengan alat penerangan maupun alat komunikasi apapun. Tapi siapa yang bisa menyangkal pendapat tentang kehandalan pelaut-pelaut Bugis dan Bajo..

Jalanan di Nusa Tenggara tidaklah semulus jalan-jalan protokol yang ada di ibukota. Banyak jalan yang harus saya lalui malah hanya berupa jalan setapak yang biasa digunakan penduduk desa untuk menjual hasil buminya ke pasar kecamatan. Tak jarang pula motor saya harus saya titipkan di desa terdekat karena saya rasa tidak akan mampu sebuah motor matic bekas melalui trek yang tidak bersahabat itu. Bahkan trek menuju dan pulang dari desa Mantar adalah trek terparah dalam perjalanan yang tiga bulan lebih itu. Menuju desa ini saya harus melalui sebuah jalan yang rusak parah, hanya mobil-mobil 4WD saja yang bisa melaluinya. Saya memutuskan membawa serta motor, karena dapat keterangan dari Anas bahwa treknya baik-baik saja dan motor saya pasti akan bisa melewatinya. Jangankan motor matic saya, motor Anas, sahabat saya warga Taliwang yang menemani perjalanan harus beberapa kali terguling. Padahal motor dia adalah jenis motor trail yang harusnya bisa menaklukna medan itu, tapi memang rute itu adalah rute paling yahud yang saya temui. Si Rio harus beberapa kali terguling dan di dorong karena memang harus melalu jalur yang batunya tidak padat. Tapi semuanya terbayar dengan pesona yang saya dapatkan di desa itu, sebuah desa yang letaknya diatas awan. Dari sana saya bisa menikmati indanya puncak Rinjani dan ranumnya lembah pototano di bawahnya.

bolak balik masuk bengkelKarena kondisi jalanan yang seperti itu, saya harus berkali-kali masuk keluar bengkel untuk memperbaiki atau sekedar mengecek kondisi dari motor yang saya gunakan untuk perjalanan ini. Selama perjalanan saya harus mengganti shock breaker dan ban depan belakang dua kali, mengganti batere motor dan mau tidak mau harus memperbaiki shock breaker bagian depan karena oli nya bocor sehingga tidak berfungsi maksimal, dan ternyata itu belum juga mengatasi masalah. Saya harus berkendara dari Sumbawa sampai Tangerang dengan kondisi motor yang minim peredam kejut, karena shock breaker baik depan maupun belakang sudah rusak lagi, dan ternyata sudah tidak ada budget untuk penggantian dua kerusakan itu..

***

Bersama bapak Mateos Anin dari FatumnasiBercerita tentang kampung adat, saya bersyukur bisa berkunjung ke beberapa kampung adat di Sumba, Sabu, Timor, Alor dan juga Flores. Saya kagum dengan kesederhanaan mereka. Mereka hidup dengan bersahaja, namun senyuman tak pernah lepas dari para penghuninya ketika menyambut orang dari luar kampung tiba.

Banyak sekali sahabat yang bertanya bagaimana saya bisa menjalani ini semua, biaya dari mana. Saya selalu percaya bahwa orang baik itu ada dimana-mana. Untuk mewujudkan mimpi ini saya harus berani menabung sedikit demi sedikit. Satu kepercayaan lain bahwa Tuhan pasti akan selalu memberi jalan terbaik bagi kita untuk meraih  sebuah mimpi jika kita bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Dengan berbekal sedikit tabungan yang ada, saya bertekad untuk menjadikan mimpi ini menjadi kenyataan. Namun di perjalanan ternyata banyak sekali hal-hal di luar dugaan, hingga pada satu masa saya harus kalut karena biaya perjalanan kian menipis, sementara saya masih berada jauh dari rumah. Disinilah mental kita diuji. Jika saat itu saya harus menyerah, ok saya akan pulang dengan menggantung setengah mimpi yang belum selesai. Tapi Tuhan selalu punya rencana baik buat kita, akhirnya saya harus merelakan satu lensa saya jual untuk kembali melanjutkan perjalanan. Dan ternyata beberapa kawan juga rela menyisihkan sedikit rejekinya ikut membantu perjalanan ini, satu hal yang selalu membuat saya terharu jika mengingatnya.

bersiap ke SolorKisah demi kisah, kejadian demi kejadian saya nikmati saja. Saya yakin ini proses pembelajaran hidup yang sudah tuhan rencanakan buat saya. Perjalanan ini juga membuka mata ini bahwa ternyata negeri ini belumlah sampai pada titik gemah ripah loh jinawi seperti yang dulu saya pelajari di sekolah dasar. Masih banyak ternyata ketimpangan yang terjadi. Dan satu fakta juga saya temukan di jalanan bawah kesejahteraan ternyata masih menjadi dongeng manis yang belum terwujud di ujung negeri sana. Sebuah pelajaran yang tidak akan saya temukan di bangku sekolah manapun.

Jadi teruslah bermimpi dan kejarlah mimpi-mimpi itu sampai menjadi sebuah kenyataan.

Sebuah Video Trailer dari perjalanan kembara ini.

Jalur Kembara Nusa Tenggara [Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa-Sumba-Flores-TN.Komodo-Solor-Adora-Lembata-Alor-Timor-Semau-Rote-Ndana-Sabu]

 

 

Penganut Pesan Kakek "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu". Suka Jalan-jalan, Makan-makan, Poto-poto dan Buat Video. Cek cerita perjalanan saya di Instagram dan Youtube @lostpacker

Related Posts