Enabara, Sebuah Nirvana dari Flores

11

Hamparan pantai pasir putih dengan air laut yang jernih terasa menyejukan pandangan mata saya di siang terik itu. Sementara di kejuhan sebuah gunung  berapi Rokatenda yang terletak di pulau Palu’e juga terlihat sangat angkuh sekali. Langit biru dengan awan berarak semakin melengkapi sebuah lukisan alam yang maha sempurna itu.

Pantai Anabhara, Sebuah lokasi pantai yang masih sangat alami karena belum tersentuh sama sekali. Terletak di kawasan kecamatan Maurole di kabupaten Ende. Sebagian orang menyebutnya dengan nama pantai Enabara, namun saya tidak akan membahas tentang asal-usul sedikit perbedaan nama tersebut, mungkin perbedaan itu hanya berawal dari pelawalan oleh masyarakat saja.

ini lho pantai Enabara nya
ini lho pantai Enabara nya

Mengetahui keberadaan pantai ini di beritahu oleh seorang teman yang mengaku asli Ende, Tuteh namanya. Lewat tulisan dan beberapa foto yang nampang di blog utama pribadinya itu saya sungguh terhipnotis oleh pantai tersebut. Kebetulan saya adalah pecinta pantai-pantai sepi yang masih alami seperti itu. Setelah meminta wejangan dari Beliau (yess Tuteh saya tuakan disini) ha ha, berangkatlah saya menuju pantai yang di blog nya Tuteh  di sebut dengan Nirvana nya Flores.

Perjalanan ke pantai ini sejatinya adalah serangkain dengan perjalanan ke kawah Kelimutu dan desa adat Wologai. Setelah puas menikmati keindahan dan keeksotikan kedua destinasi sebelumnya, saya merasa masih ada yang kurang, yah kekurangan tersebut adalah pantai dan angin laut. Hampair 80 persen destinasi jejalan saya adalah pantai. Mungkin saya sudah di butakan dengan keindahan yang terpancarkan dari setiap pantai-pantai indah di negeri ini.

here we are
here we are

Bastian masih memacu motor nya menuju Nirvana tersebut, sementara saya hanya bisa duduk manis di boncengan motornya. Tidak jauh dari motor kami, Echi dan sang Joki juga sedang terlihat asik menikmati setiap belokan dan lubang-lubang yang sering muncul tak terduga di jalanan. Edan memang kami saat itu, Eci membonceng sepeda motor dengan bawaan sebuah Carrier segede gaban (padahal gak tahu gaban itu segede apa) ha ha. Jalanan mulai mengecil dengan tikungan yang rasanya tidak pernah ada habisnya, hingga akhirnya setelah menempuh perjalan selama 1 jam 45 menit akhirnya kami di pukau dengan keindahan pantai Enabara ini. Dalam hati saya berkata  yah inilah yang selama ini saya cari. Sebuah Nirvana dari Flores.

Setelah sampai di spot yang dituju, saya beristirahat sejenak di bawah pepohonan. Sengatan matahari terasa sangat jahat sekali siang itu. Bukan hanya kami yang ada di pantai siang itu. Beberapa nelayan dan serombongan kecil wisatawan juga sedang asik menikmati keindahan pantai tersebut.

Mari main di pantainya
Mari main di pantainya

Setelah sedikit berbincang ternyata rombongan wisatawan tersebut adalah para guru yang di tempatkan di daerah Nusa Tenggara Timur ini. Mendengar dari logat bicara mereka, terdengar mereka berasal dari daerah Sumatera barat, dan benar adanya ketika sebuah obrolan kecil terjalin diantara kami.

Perut sudah mulai keroncongan, karena sejak pagi saya hanya mengunyah segelas popmi dan siangnya hanya terisi dengan semangkuk bakso yang rasanya entah sedikit agak aneh ha ha. Dengan perjalanan dahsyat seperti itu rasanya menu seperti ini kurang nendang di perut sexy saya. Alhasil saya sedikit kelaparan berada di pantai itu. Namun untunglah beberapa biskuit bisa mengganjal perut saya.

Hamock an
Hamock an

Selesai membentangkan Hamock kesayangan, saya berkeliling dari ujung hingga ke ujung pantai ini. Hampir semua sudut bertabur keindahan. Mulai dari tebing-tebing terjal batu karangnya, hingga pasir putihnya yang sangat indah sekali. Air lautnya juga terlihat seperti sebuah gradasi, mulai dari hijau toska hingga ke biru gelap yang artinya laut tersebut sudah dalam.

Beberapa nelayan juga terlihat asik memancing dan menjaring dengan perahu kecil mereka. Mungkin hasilnya tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan nelayan besar dengan kapal yang mempunyai perlengkapan penangkap ikan modern. Namun justru inilah langkah masyarakat nelayan disini sebagai upaya mereka melestarikan alam, menangkap seperlunya saja dengan peralatan sederhana mereka.

Jalan-jalan kecehhh
Jalan-jalan kecehhh

Kembali ke lokasi dimana hamock saya gantungkan, terlihat hamock tersebut sudah berpenghuni. Dan ternyata yang sedang meringkuk asoy di dalam buaian hamock saya adalah si Bastian. Sang Joki motor yang saya tunggangi. Semula berniat membangunkan, tapi ya sudahlah toh dia sudah mengeluarkan banyak sekali konsentrasi dan tenaga guna mengantarkan saya berkeliling, hingga akhirnya saya merelakan momen bercengkrama dengan hamock di pantai indah Enabara ke dia.

Saya tertarik dengan batang pohon kering yang terlihat pasrah berada di pinggir pantai. Mungkin dia sudah melanglang buana melintasi lautan hingga akhirnya terdampar di peristirahatan terakhirnya di pantai ini. Sepasang muda-mudi penduduk lokal juga terlihat sedang asik bercengkrama di atasnya. Mereka seolah tidak peduli dengan panas yang sangat menyengat siang itu. Memang benar kata pepatah lama, Kalau Cinta itu buta, disaat terik seperti ini seolah mereka buta bahwa sedang barada di pinggir pantai dengan panas yang menyengat ha ha.

Nelayan Lokal
Nelayan Lokal

Perhatian saya malah tertuju pada seorang bapak nelayan yang sedang mendaratkan perahu kecilnya ke pantai. Raut mukanya terlihat sangat lelah sekali, mungkin sejak pagi dia sudah melaut untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga keluarganya. Kulitnya terlihat legam tersengat oleh sinar matahari. Mungkin juga sengatan itu sudah dia rasakan sejak puluhan tahun yang lalu, namun secercah senyum tersungging di bibirnya ketika saya mendekat dan menyapanya.

“hanya dapat sedikit nak, mungkin ikannya sedang piknik”

Ucapan bapak tua itu seolah menghibur saya yang sedang kepanasan, tapi juga menyiratkan sebuah kegetiran hidup yang sedang dia alami. Dengan hasil seperti itu mana bisa dia mencukupi kebutuhan keluarganya, tapi setidaknya dia sudah dengan tekun berusaha. Dan senyum yang diberikan kepada saya disaat  hatinya sedang berkecamuk antara rasa lelah, kegetiran hidup dan tuntutan kebutuhan rumah tangganya. Yang membuat saya kagum si bapak masih terlihat bahagia dengan kondisi seperti itu. Sebuah pelajaran kembali saya dapatkan dari sebuah perjalanan ini. Ingatan saya melambung pada sebuah masa lalu dimasa kakek masih hidup dan selalu berpesan kepada saya “Jadilan pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu”.

Pantainya Rindang
Pantainya Rindang

Puas bercengkrama dalam pelukan sang Nirvana Flores ini, saya pun bergegas untuk meninggalkan pantai ini. Jalanan berkelok serta berlubang menuju Detosuko pasti akan sulit di tempuh jika hari sudah gelap, bahkan  di beberapa titik saya harus melewati hutan. Bas sepertinya sudah kenal betul dengan medan jalan seperti ini. Saya hanya bisa mengikuti liukan tubuhnya di jok belakang supaya keseimbangan motor ini tetap terjaga. Beberapa kali motor terperosok kedalam lubang, dan kami tertawa terbahak-bahak.  Sungguh sebuah keberuntungan menikmati sebuah petualangan yang luar biasa ini, menyesapi keindahan sebagian bumi FLores ini.

Tiba di Detosuko sudah menjelang magrib. Bas sempat menunjukan kepada saya sebuah pemadian air panas yang terlihat tidak jauh dari jalan yang kami lewati. Namun kambali lagi kami harus berpacu dengan waktu. Harus sudah tiba di Ende sebelum gelap nya malam menyergap kami di perjalanan. 

Hujan yang sempat jatuh di daerah Detosuko membuat perjalan kami harus berhati-hati. Jalanan jadi licin dan ternyata hampir 80 persen perjalanan dari Detosuko menuju Ende kami harus melewati terjalnya bukit di sebelah kiri dan curam nya jurang di sebelah kanan. Jika lengah sedikit saja bisa di pastikan kami akan terperosok kedalam jurang yang entah berapa puluh meter dalam nya.

Pesona Sunset sore itu juga terlihat sangat aduhay sekali. Bias cahaya merah nya terpantul dari refleksi sisa air hujan yang ada di depan saya. Belum lagi ketika saya mamandang ke deretan bukit-bukit di sepanjang perjalanan. Rasanya seperti sedang berada di sebuat setting lokasi pengambilan film Avatar. Layer-layer gunung dipeluk kabut dengan bias cahaya matahari terbenam sungguh melahirkan sebuah lukisan alam yang maha sempurna.

Tiba-tiba Bas menghentikan motornya di sebelah sebuah bongkahan batu besar yang terlihat asik nangkring di pinggir jurang.

“ini batu pernah jatuh ke jurang mas, tapi dia naik sendiri”

Saya hanya bisa berfikir bagaimana caranya si batu naik dari dalam jurang yang begitu dalamnya, Ternyata itu adalah mitos cerita rakyat yang berkembang tentang sebiah batu besar ini, yang belakangan saya tahu dari Tuteh bahwa itu adalah titik tengah dari pulau Flores jika di tarik dari garis diagonal pulau.

Tiba di kota ende sudah malam, mungkin hampir pukul 07.00 WITA. Terlihat beberapa masyarakat berjalan beriringan di trotoar jalan. Menurut keterangan Bas mereka baru saja selesai menghadiri sebuah kebaktian di Gereja-gereja yang ada di kota Ende. Perut rasanya makin keroncongan, hingga akhirnya mendaratlah kami di sebuah rumah makan padang. Semua makan dengan kalapnya, seolah sudah berbulan-bulan tidak melahap makanan ha ha ha, (nggak ding terlalu lebay perumpamaannya), yang pasti hampir 80 persen makanan yang dihidangkan di meja LUDES ha ha.

Setelah mengantarkan saya ke hotel Flores lagi, Bastian pamit pulang dulu, dan dia berjanji juga untuk menjemput saya setelah mandi. Memang malam ini saya dan echi ada janji dengan Tuteh untuk berkumpul menikmati malam di kafe Ungu yang ada di pinggir pantai Ende. Namun ternyata Bastian tidak memberi kabar, saya yakin dia tepar kecapekan, hingga akhirnya saya di jemput Tuteh di hotel.

Menuju ke kafe Ungu kami melewati sebuah bangunan bersejarah, yakni rumah pengasingan presiden Sukarno di kota Ende ini ketika pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Negeri ini. Sekilas rumah ini masih terlihat rapi walau malam itu sudah tertutup untuk pengunjung. Namun nilai-nilai yang di ajarkan oleh Sukarno tidak akan pernah di lupakan oleh bangsa ini, salah satunya adalah kedahsyatan makna dari Pancasila yang lahir di kota Ende ini.

Menikmati malam di pinggir laut di temani segelas susu panas seperti ini sungguh anugrah yang luar biasa. Di kejauhan terlihat lampu-lampu pulau Ende (pulau Ende ternyata beda dengan kota Ende). Kerlap-kerlipnya seolah meninabobok kan para penghuni pulau tersebut. Setelah puas ngobrol-ngobrol (padahal aslinya ini adalah aksi culas Tuteh untuk menyedot foto-foto narcisnya dari kamera saya) saya dan echi diantarkan kembali ke peraduan kami di hotel Flores. Rasa sedih dan bimbang bercampur aduk saya rasakan malam itu, saya tidak tahu ini karena apa, tapi yang pasti mungkin dikarenakan besok pagi saya harus melanjutkan pengembaraan kali ini ke ujung flores lainnya untuk mereguk nikmat keindahan lainnya.

Penganut Pesan Kakek "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu". Suka Jalan-jalan, Makan-makan, Poto-poto dan Buat Video. Cek cerita perjalanan saya di Instagram dan Youtube @lostpacker

Related Posts